Penelitian ungkap Dataran Tinggi Qinghai-Xizang jadi lebih hangat, lebih basah, dan lebih hijau

Foto dari udara yang diabadikan menggunakan ‘drone’ pada 29 September 2023 ini menunjukkan sebuah danau proglasial di dekat Gunung Cho Oyu. Tim ekspedisi China melakukan penelitian di sekitar Gunung Cho Oyu pada 2023, sebagai bagian dari ekspedisi ilmiah komprehensif kedua di Dataran Tinggi Qinghai-Xizang yang dimulai pada 2017. (Xinhua/Jigme Dorje)

Iklim yang menghangat dan kelembapan yang meningkat telah menyebabkan ketidakseimbangan signifikan di Dataran Tinggi Qinghai-Xizang.

 

Lhasa (Xinhua/Indonesia Window) – Dataran Tinggi Qinghai-Xizang menjadi lebih hangat, lebih basah, dan lebih hijau, demikian disampaikan seorang peneliti dalam konferensi pers tentang ekspedisi dan penelitian ilmiah di Dataran Tinggi Qinghai-Xizang kedua yang digelar di Lhasa pada Ahad (18/8).

Dataran Tinggi Qinghai-Xizang, yang juga dikenal sebagai ‘menara air’ Asia, merupakan reservoir sumber daya air krusial, yang memiliki pengaruh mendalam terhadap ekosistem dan siklus air regional dan bahkan global.

“Gletser dan lapisan salju di dataran tinggi itu menyusut, sementara vegetasinya menghijau,” kata Yao Tandong, seorang akademisi di Akademi Ilmu Pengetahuan China. “Perubahan semacam itu dapat menyebabkan pergeseran signifikan dalam sirkulasi monsun Asia, yang berpotensi meningkatkan frekuensi fenomena cuaca ekstrem di China.”

Dalam beberapa tahun terakhir, iklim yang menghangat dan kelembapan yang meningkat telah menyebabkan ketidakseimbangan signifikan di Dataran Tinggi Qinghai-Xizang, ujar Yao.

Ketidakseimbangan di dataran tinggi itu terutama terlihat dalam penyusutan cepat pada badan air solid, seperti gletser dan salju, serta peningkatan badan air likuid yang meluas, seperti danau dan sungai, sehingga mengakibatkan ketidakseimbangan fase solid-likuid, kata Yao.

Ekspedisi dan penelitian ilmiah kedua tersebut mengungkap bahwa total penyimpanan air permukaan di ‘menara air’ Asia tersebut saat ini melampaui 10 triliun meter kubik, kira-kira setara dengan total limpasan Sungai Kuning selama 200 tahun.

Sejumlah model iklim memperkirakan bahwa pada akhir abad ke-21, beberapa daerah mungkin akan kehilangan lebih dari separuh massa gletsernya, dengan permukaan air danau berpotensi naik lebih dari 10 meter, menurut konferensi itu.

Meski fenomena ini dapat meningkatkan kapasitas pasokan air secara keseluruhan, risiko runtuhnya gletser dan banjir akibat semburan danau glasial diproyeksikan menjadi tiga kali lebih tinggi daripada level saat ini.

Yao juga menekankan bahwa ekspedisi dan penelitian ilmiah kedua tersebut memberikan dukungan ilmiah yang krusial bagi strategi sumber daya air dan ketahanan air. “Sumber daya air masa depan di hilir ‘menara air’ Asia memerlukan strategi-strategi yang dibedakan secara regional dan koordinasi komprehensif internasional,” tutur Yao.

“Sangat penting untuk memperkuat pembangunan sistem peringatan dini ilmiah bagi keruntuhan gletser dan semburan danau glasial, dan untuk menerapkan langkah-langkah yang lebih efektif bagi pengelolaan sumber daya air yang berkelanjutan,” tambahnya.

China memulai ekspedisi dan penelitian ilmiah kedua di Dataran Tinggi Qinghai-Xizang itu pada Agustus 2017, yang dimaksudkan untuk mengungkap mekanisme perubahan lingkungan dan memberikan dukungan ilmiah bagi keamanan ekologis dataran tinggi tersebut.

Laporan: Redaksi

Tinggalkan Komentar

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Iklan