Jakarta (Indonesia Window) – Gangguan pertumbuhan pada anak yang ditunjukkan dengan tinggi badan lebih rendah atau pendek (kerdil) dari standar usianya atau stunting merupakan masalah global.
Sebuah laporan menyebut pada 2017 sebanyak 22,2 persen atau sekitar 150,8 juta balita di dunia mengalami stunting.
Di Indonesia, prevalensi balita sangat pendek dan pendek usia 0-59 bulan pada 2017 masing-masing adalah 9,8 persen dan 19,8 persen.
Provinsi dengan prevalensi tertinggi balita sangat pendek dan pendek pada usia 0-59 bulan tahun 2017 adalah Nusa Tenggara Timur, sedangkan provinsi dengan prevalensi terendah adalah Bali.
Kementerian Kesehatan RI menyatakan bahwa gangguan pertumbuhan pada anak dengan kondisi tubuh anak yang pendek sering kali dikatakan sebagai faktor keturunan (genetik) dari kedua orangtuanya, sehingga banyak masyarakat yang hanya menerima keadaan itu tanpa berbuat apa-apa untuk mencegahnya.
Padahal genetika merupakan faktor determinan kesehatan yang paling kecil pengaruhnya bila dibandingkan dengan perilaku, lingkungan (sosial, ekonomi, budaya, politik), dan pelayanan kesehatan.
Artinya, stunting sebenarnya bisa dicegah, salah satunya dengan mengonsumsi pangan yang bergizi, baik bagi ibu yang tengah mengandung maupun bayi yang dilahirkannya.
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sedang mengembangkan lima komoditas pertanian, yakni teh, kakao, singkong, pisang dan manggis sebagai pangan fungsional untuk pencegahan stunting.
“Indonesia memerlukan percepatan dalam menangani stunting lewat penyediaan produk pangan fungsional. Lima komoditas tersebut tersedia melimpah dan potensi besar untuk dikembangkan,” ujar Deputi Bidang Ilmu pengetahuan teknik LIPI, Agus Haryono, yang dikutip dari situs LIPI di Jakarta, Jumat.
Pangan fungsional
Sementara itu, Pelaksana Tugas Kepala Pusat Penelitian Kimia LIPI, R. Arthur Ario Lelono, menuturkan keberadaan pangan fungsional penting untuk melengkapi makanan pokok yang nilai nutrisinya mungkin belum memadai.
“Kita tidak bisa menggantikan makanan pokok seperti nasi sehingga perlu tambahan nutrisi lewat pangan fungsional,” jelas Arthur.
Salah satu komoditas yang dapat mencukupi kebutuhan nutrisi adalah teh.
“Teh sangat baik untuk diet, selain itu berfungsi sebagai antioksidan, penurun kolesterol, peningkat metabolisme tubuh, penjaga kesehatan tulang, dan pencegah diabetes,” imbuh Arthur.
Saat ini LIPI mengembangkan produk klon unggul teh seri Gambung. “Teh ini berpolifenol tinggi sehingga cocok sebagai bahan baku minuman fungsional untuk menurunkan risiko obesitas,” sambungnya.
“LIPI juga melakukan formulasi dan identifikasi asam folat dari campuran nikstamal (proses perendaman dalam larutan alkali) jagung , bayam dan brokoli terfermentasi, serta tempe kedelai dan kacang hijau,” ungkap Arthur.
Dia menjelaskan formulasi tersebut diterapkan pada pembuatan pangan fungsional berupa biskuit, bubur dan sup bayi dengan variasi jenis dan konsentrasi fortifikan (zat gizi) yang berbeda sebagai produk makanan pendamping ASI.
Laporan: Redaksi