Krisis gas di Eropa dan cuaca dingin berpotensi menciptakan “tsunami” ekonomi bagi banyak perusahaan di benua itu, serta mendorong inflasi ke rekor tertinggi, sebut seorang ekonom.
Roma, Italia (Xinhua) – Dengan cuaca dingin yang akan segera tiba dan terputusnya akses negara-negara Eropa untuk mendapatkan gas alam dari Rusia, kenaikan biaya dan kelangkaan pasokan energi berpotensi menciptakan “tsunami” ekonomi bagi banyak perusahaan Eropa, demikian disampaikan oleh seorang ekonom kepada Xinhua dalam sebuah sesi wawancara.
Akibat dampak konflik antara Rusia dan Ukraina, harga gas alam meroket tahun ini, mendorong krisis gas di Eropa. Hal ini secara tidak langsung berdampak terhadap sumber energi lainnya dan menaikkan angka inflasi ke rekor tertinggi.
Lorenzo Codogno, kepala ekonom di LC Macro Advisors, mengatakan kepada Xinhua bahwa kemungkinan yang terburuk belum terjadi.
Menurut Eurostat, inflasi di Zona Euro yang beranggotakan 19 negara itu mencapai rekor baru sebesar 9,1 persen pada Agustus, dengan harga pangan dan energi terus melonjak.
“Saat ini, terjadi ‘kompetisi tarik tambang’ antara krisis biaya hidup di satu sisi, dan ketahanan di banyak sektor dan aspek ekonomi di sisi yang lain,” kata Codogno. “Namun jika Anda melihat data yang ada, kondisinya seperti ketika tsunami akan datang.”
Inflasi konsumen dan produksi industri akan mendapat “pukulan” secara bersamaan, kata Codogno, yang juga merupakan seorang profesor tamu di European Institute of the London School of Economics and Political Science.
“Tekanan pendapatan riil yang dapat dibelanjakan sangat besar dan Anda akan memperkirakan, mungkin pada akhir kuartal ketiga, tetapi kemungkinan besar pada kuartal keempat, penurunan konsumsi yang signifikan,” kata Codogno.
“Jika Anda melihat data bulanan, masih terdapat daya tahan. Namun beberapa perusahaan tidak memiliki kekuatan pasar, mereka tidak menaikkan harga. Jadi mereka secara efektif menyerap harga biaya hidup dalam margin mereka, dan upah tidak naik secara dramatis saat ini,” imbuhnya. “Mau tidak mau, daya beli rumah tangga akan terdampak.”
Ekonom tersebut mengatakan para pembuat kebijakan akan berperan dalam menentukan seberapa sulit krisis energi musim dingin itu. Peran yang dimaksud berkaitan dengan kebijakan-kebijakan yang diluncurkan untuk mengurangi biaya energi yang tinggi, bantuan pajak untuk perusahaan padat energi, dukungan untuk keluarga berpenghasilan rendah, dan kebijakan-kebijakan lainnya.
“Semua ini benar-benar bergantung (pada) sejauh mana (krisis) diimbangi oleh langkah-langkah kebijakan, dan seberapa besar ketahanan yang dimiliki oleh sistem,” tutur Codogno. “Sebagai contoh, masih ada banyak tabungan di sistem, dan itu bisa digunakan untuk mendukung konsumsi. Namun kita tidak tahu seberapa besar, dan untuk mencari jawabannya, kita bergantung pada keyakinan, yang melemah dengan cepat.”
Codogno mengatakan bahwa masalah ekonomi akan dirasakan di seluruh Eropa, karena “tekanan pendapatan riil yang dapat dibelanjakan berasal dari inflasi yang lebih tinggi.”
“Ada beberapa negara yang kondisinya sangat buruk dan di sejumlah negara lain, tekanannya sedikit lebih ringan, tetapi ini adalah fenomena Eropa,” katanya.
Tingkat keparahan masalah ditentukan oleh sejumlah faktor yang meliputi geografi dan struktur industri sebuah negara, papar Codogno. Negara-negara dengan musim dingin yang lebih lama dan lebih dingin, serta negara-negara dengan sektor industri besar yang haus energi, akan lebih rentan terhadap harga gas yang tinggi.
“Ada beberapa sektor produksi seperti baja, bisnis keramik atau bisnis kertas yang sangat padat energi, dan biasanya menggunakan gas,” kata Codogno. “Sektor semacam ini lebih banyak di Eropa selatan daripada Eropa utara.”
“Tampaknya negara-negara Baltik dan negara-negara yang berbatasan dengan Rusia lebih bergantung pada gas Rusia tidak hanya untuk keperluan domestik, tetapi juga untuk keperluan industri. Jerman dan Italia, dua pusat manufaktur besar di Eropa, sangat bergantung pada gas,” katanya.
Laporan: Redaksi