“Potensi kerugian ekonomi Indonesia sebesar 544 triliun rupiah tersebut meliputi empat sektor yaitu pesisir dan laut 408 triliun rupiah, air 26 triliun rupiah, pertanian 78 triliun rupiah dan kesehatan 31 triliun rupiah akibat cuaca ekstrem di Bumi.”
Jakarta (Indonesia Window) – Dunia, termasuk Indonesia, tengah menghadapi tantangan perubahan iklim cuaca ekstrem yang dapat memengaruhi sektor ekonomi serta keanekaragaman hayati dan mengancam masa depan Bumi dan isinya.
Direktur Lingkungan Hidup Kementerian PPN/Bappenas Medrilzam menyebutkan potensi kerugian ekonomi Indonesia akibat perubahan iklim, jika tidak ada intervensi kebijakan, mencapai 544 triliun rupiah sepanjang 2020 sampai 2024.
“Kita lihat potensi hazard yang ada dan setelah dihitung dan dievaluasi potensi kerugian ekonominya mencapai 544 triliun rupiah,” kata Medrilzam dalam media briefing, ‘Measuring The Progress of Low Carbon and Green Economy’ seperti yang dikutip oleh Antara di Jakarta, Selasa.
Medril menuturkan, potensi kerugian ekonomi Indonesia sebesar 544 triliun rupiah tersebut meliputi empat sektor yaitu pesisir dan laut 408 triliun rupiah, air 26 triliun rupiah, pertanian 78 triliun rupiah dan kesehatan 31 triliun rupiah.
Di Indonesia sendiri sudah terjadi peningkatan intensitas kejadian bencana hidrometeorologi, mencapai 5.402 kejadian hanya sepanjang 2021.
Dari seluruh kejadian bencana alam sepanjang tahun lalu tersebut sebanyak 98 persen sampai 99 persen merupakan bencana hidrometeorologi.
Menurut Medril, perubahan iklim ini harus segera diatasi melalui berbagai kebijakan ketahanan iklim yang diharapkan akan mampu menghindari potensi kerugian ekonomi sebesar 281,9 triliun rupiah hingga 2024.
Terlebih lagi, baik Indonesia maupun global saat ini memiliki triple planetary crisis yaitu perubahan iklim, polusi, serta hilangnya keanekaragaman hayati yang akan mengancam masa depan bumi dan manusia.
Sementara itu, Direktur Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter Bank Indonesia (BI) Wahyu Agung Nugroho mengatakan, perubahan iklim merupakan agenda yang sangat penting bagi Indonesia, lantaran memiliki peran yang cukup signifikan untuk menjaga inflasi.
“Dari angka inflasi beberapa bulan terakhir, sebenarnya salah satu penyebabnya adalah karena cuaca buruk di daerah sentra produksi komoditas pangan tertentu, termasuk cabai dan bawang merah di beberapa wilayah Indonesia,” kata Wahyu dalam acara CGS-CIMB 14th Annual Indonesia Conference 2022 seperti dikutip oleh REPUBLIKA.CO.ID di Jakarta, Selasa (9/8).
Menurut Wahyu, perubahan iklim akan menjadi lebih buruk jika seluruh negara, termasuk Indonesia, tidak segera mengambil tindakan tegas dan konsisten untuk mengurangi dampak perubahan cuaca global yang tidak menguntungkan.
Belakangan ini suhu global dilaporkan kian meningkat dan menyebabkan bencana material yang lebih sering dan lebih buruk, termasuk yang terjadi di Indonesia, selain mengganggu produksi, khususnya di bidang pertanian.
Menghadapi tantangan tersebut, bank sentral di seluruh dunia termasuk Bank Indonesia, terus bekerja dalam agenda perubahan iklim bersama-sama.
Wahyu menyadari jika perubahan iklim dibiarkan terus berlanjut, Indonesia akan menjadi salah satu negara yang paling menderita dari kondisi tersebut.
Menghadapi situasi seperti ini, Indonesia telah berpartisipasi dalam upaya global untuk mengurangi emisi karbon dengan meratifikasi Kesepakatan Paris dalam mengurangi emisi karbon sebesar hingga 41 persen pada 2030.
“BI mendukung upaya ini dan kami menekankan bahwa proses transisi ke ekonomi lokal harus dilakukan dengan lancar karena proses transisi ini akan lama, serta tidak akan mudah. Salah satunya tentang bagaimana kita membiayai proses transisi ini ke periode ekonomi rendah karbon atau dalam terminologi transisi harus adil dan terjangkau,” tegas Wahyu.
Dalam rapat koordinasi nasional Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) pada Senin (8/8), Presiden Joko Widodo (Jokowi) memerintahkan BMKG untuk mengidentifikasi risiko iklim dan dampaknya secara menyeluruh.
Menurut Jokowi, adaptasi yang harus dilakukan adalah meningkatkan kapasitas sumber daya manusia, serta peralatan untuk memodelkan cuaca dan iklim dengan menggabungkan informasi dari teknologi satelit.
Presiden juga meminta BMKG agar memperkuat layanan informasi dan literasi, terutama di wilayah pertanian dan perikanan, sehingga petani dan nelayan bisa mengantisipasi terjadinya cuaca ekstrem.
BMKG juga diminta memperluas cakupan forum sekolah lapang iklim dan sekolah lapang cuaca nelayan agar dampaknya lebih signifikan.
“Kondisi ini menjadi tantangan nyata bagi kita. Penanggulangan perubahan iklim menjadi isu prioritas dan tantangan global setelah meredanya Covid-19,” kata kepala negara.
Pada kesempatan yang sama, Kepala BMKG Dwikorita Karnawati menyebut perubahan iklim dapat mengancam ketahanan pangan di Indonesia.
Dwikorita menyebutkan bahwa cuaca ekstrem dan bencana hidrometeorologi mengakibatkan kegiatan pertanian dan perikanan semakin rentan untuk terganggu, gagal, dan bahkan mengancam produktivitas panen dan tangkap ikan, serta mengancam keselamatan para petani dan nelayan.
Karenanya, petani dan nelayan sebagai mata rantai terakhir dari penerima informasi, sekaligus ujung tombak ketahanan pangan harus mendapat dukungan dari BMKG dalam mengantisipasi iklim dan cuaca ekstrem di Bumi yang dapat berdampak pada kegiatan pertanian maupun kegiatan melaut.
“Mekanisme sekolah lapang yang diselenggarakan oleh BMKG bersama mitra terkait adalah platform yang didesain dan dilaksanakan untuk memfasilitasi literasi petani dan nelayan tersebut,” terang Dwikorita.
Melalui sekolah lapang, pemanfaatan info BMKG diperkuat dan disebarluaskan agar dapat lebih dimanfaatkan oleh para petani dan nelayan, serta berbagai pihak terkait dalam mendukung kegiatan pertanian dan perikanan secara lebih adaptif, produktif dan tangguh.
Laporan: Redaksi