Bogor, Jawa Barat (Indonesia Window) – Rata-rata orang di dunia bicara dalam dua atau tiga bahasa, yakni bahasa daerah atau bahasa lokal, bahasa nasional, serta satu bahasa asing yang dipelajari di sekolah.
Sejumlah penelitian menemukan bahwa kelompok bilingual (dua bahasa) dan trilingual (tiga bahasa) mencakup masing-masing 43 persen dan 13 persen dari total masyarakat dunia.
Sementara mereka yang memiliki kemampuan multilingual atau polyglot, yaitu mampu berbicara dalam empat bahasa atau lebih dengan tingkat kefasihan yang sama, hanya mencakup 1-3 persen populasi global.
Di antara jumlah yang kecil itu, ada Anais Maryam Hidayah yang bisa berbicara dalam 10 bahasa, termasuk Bahasa Indonesia.
Selain menguasai Bahasa Inggris yang telah jamak di masyarakat di Tanah Air, delapan bahasa asing lainnya yang dikuasai gadis 16 tahun ini termasuk dalam kelompok yang cukup rumit dipelajari, yakni Bahasa Arab, Korea, Turki, Jepang, China, Spanyol, Perancis, dan Ibrani.
Anais menuturkan bahwa penguasaan bahasa asingnya dimulai dengan belajar Bahasa Inggris, saat adiknya Nicolas mulai belajar bicara dalam bahasa asing ini secara alami tanpa ada yang mengajarinya.
“Saya mulai belajar umur 8 tahun, saat Nicolas mulai bicara dalam Bahasa Inggris,” ujarnya, seraya menambahkan bahwa bahasa asing ini relatif mudah dipelajari dan membuatnya lebih nyaman untuk mengekspresikan pendapat atau perasaannya.
Menemukan kesenangan dalam mempelajari bahasa asing sejak dini membuat Anais semakin tertarik mempelajari bahasa asing lainnya.
Menurut sulung dari empat bersaudara ini, semua bahasa di dunia menarik dan masing-masing punya daya pikat tersendiri.
“Misalnya, Bahasa Arab. Menurutku bahasa ini menarik karena subject-nya (kata ganti) banyak, dan sangat detail sehingga semua struktur kata bisa berubah. Sedangkan Bahasa Korea mengasyikan karena butuh kemampuan menebak, sebab subjek atau objek yang dimaksud sering kali tidak disebutkan. Selain itu, ada banyak gabungan kata dan bahasa tulisnya unik,” terangnya.
Keunikan cara pengucapan dan penulisan tersebut juga dia temukan saat belajar Bahasa Turki, Jepang, China, Spanyol, Perancis dan Ibrani.
Dari semua bahasa tersebut, bagi Anais, China adalah bahasa yang sangat menantang karena karakter tulisannya yang bermacam-macam dan makna sebuah kata yang bisa berubah hanya karena diucapkan dengan nada yang berbeda.
“Kalau Bahasa Jepang menurutku bahasa yang ceria dan lucu. Ada pengucapannya yang mirip Bahasa Indonesia. Tapi tulisannya sangat berbeda karena Jepang punya tiga macam tulisan, hiragana, katakana dan kanji,” jelas Anais.
Dia mengakui bahwa belajar bahasa asing tidak hanya menyenangkan, namun juga banyak manfaatnya.
“Banyak hal yang bisa saya ketahui, entah itu kata atau perumpamaan yang hanya ada di bahasa tersebut. Saya juga jadi paham tentang budaya, pemikiran, sikap dari setiap bangsa di dunia melalui bahasa mereka,” ujar Anais yang suka main badminton ini.
Belajar bahasa asing juga menjadi salah satu langkah kecilnya untuk menempuh pendidikan tinggi di luar negeri. “Akan lebih banyak kesempatan bagi saya dalam belajar, bergaul, dan berdakwah,” tutur remaja yang bercita-cita kuliah di Turki ini.
Belajar
Walau menguasai sembilan bahasa asing dengan tingkat kecakapan beragam, tak ada satu pun yang dipelajari Anais di bangku sekolah formal.
“Saya mempelajarinya dengan menggunakan semua indera. Saya menonton video dari YouTube atau film/drama dalam bahasa tersebut. Saya juga menggunakan aplikasi yang membantu seperti Duolingo. Lalu, saya mendengarkan percakapan para penutur asli, juga menulis dan membaca tulisan berbahasa asing tersebut,” jelas puteri pasangan Miftah Hidayatullah dan Erna Sumardiana ini.
Selain itu, imbuhnya, dirinya juga senang berkenalan dan berkawan dengan orang asing agar punya kesempatan menambah pengetahuan dan melatih keterampilan berbahasanya.
Remaja yang gemar baca buku sejarah dan geoplitik ini juga mengatakan bahwa kunci belajar bahasa adalah motivasi yang kuat dengan menetapkan target besar di depan, dan pantang menyerah jika sering kali membuat kesalahan dalam belajar.
“Kita juga harus menemukan gaya belajar sendiri karena tiap orang berbeda-beda cara belajarnya. Yang penting setiap hari harus ada waktu untuk belajar, setidaknya 15 menit sudah cukup,” ucapnya.
Sejak awal usia pendidikan, sang ayah lebih memilih jalur homeschooling bagi Anais dan ketiga adiknya.
“Belajar tidak harus di sekolah. Justru dengan homeschooling, anak-anak jadi lebih punya banyak waktu dan kesempatan untuk belajar dan mengeksplorasi lebih banyak hal,” jelas Miftah.
Pada putera-puterinya dia menekankan bahwa semua hal mereka pelajari harus bermanfaat tidak hanya bagi diri mereka sendiri, tapi juga orang lain.
Dia juga mensyaratkan agar semua ilmu pengetahuan dan keterampilan yang dipelajari harus selalu dikaitkan dengan ajaran Islam dan pengamalannya dalam kehidupan.
Laporan: Redaksi