Jakarta (Indonesia Window) – Tuntutan untuk melestarikan lingkungan alam dan mengantisipasi sumber-sumber bahan bakar berbasis fosil yang semakin menipis menjadikan bioenergi sebagai salah satu energi baru dan terbarukan (EBT) yang mampu melindungi bumi dari kerusakan sekaligus memenuhi kebutuhan manusia akan energi.
Peneliti Pusat Penelitian Bioteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Dwi Susilaningsih, dalam orasi pengukuhan profesor riset berjudul “Energi Generasi Tiga Berbasis Mikrob Fotosintetik dan Mikroalga Mendukung Solusi Krisis Energi Ramah Lingkungan” menerangkan, bioenergi adalah salah satu bentuk EBT yang berasal dari material hayati, baik hewan, tumbuhan maupun mikroorganisme yang mempunyai bentuk padat, gas, dan cair.
Dia menjelaskan, biofuel generasi pertama yang paling populer adalah biodiesel, minyak nabati, biogas, bioalkohol, dan syngas, menurut pernyataan yang dikutip dari situs jejaring LIPI.
Sementara itu, biofuel generasi kedua meliputi biomassa lignoselulosa (penyusun dinding sel pada tanaman), sedangkan biofuel generasi tiga banyak dihasilkan dari material mikroorganisme (mikrob fotosintetik dan mikroalga).
Penelitian biofuel generasi ketiga oleh Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI dilakukan dengan mengoleksi mikrob fotosintetik dan mikroalga, melakukan bioprospeksi untuk bioenergi, dan membuat rekayasa proses.
“Selanjutnya, berkembang opini biofuel generasi keempat yang menekankan pada terobosan teknologi baru, penggunaan lahan tidur dan lahan marginal,” ungkap Dwi yang merupakan profesor riset bidang bioproses.
Generasi ketiga
Biofuel generasi ketiga yang berbasis mikrob fotosintetik dan mikroalga dapat menjadi solusi krisis energi karena proses produksinya tidak bersaing dengan sumber-sumber pangan dan pakan.
Sistem produksinya diharapkan dapat diaplikasikan di segala jenis lahan dengan memanfaatkan sumber daya lokal dan ramah lingkungan.
“Hasil penelitian biofuel generasi ketiga untuk memproduksi gas hidrogen dari mikrob fotosintetik dan mikroalga dengan fotofermentasi fakultatif anaerob menghasilkan rendeman gas hidrogen antara 6 sampai 12 persen per berat kering biomassa atau substrat yang digunakan,” jelas Dwi.
Saat ini, penelitian tersebut masih terus dilakukan.
Produk biooil (minyak dari sumber hayati) dan bioavtur dari mikroalga didapatkan dari empat jenis mikroalga terseleksi yaitu chlorella, coelastrella, ankistrodesmus, dan nannochloropsis.
“Jenis mikroalga tersebut mempunyai kandungan minyak lebih dari 30 persen per berat kering biomassanya. Produksi minyak terbukti belum ekonomis, masih mahal, dengan harga di atas 22 ribu rupiah per liter minyak mentah , sehingga perlu dioptimasi lebih baik lagi,” tutur Dwi.
Karenanya, menurut dia, pengembangan biofuel generasi ketiga memerlukan dukungan para pemangku kepentingan baik dari segi pendanaan maupun teknis, sehingga hasil penelitian di laboratorium dapat divalidasi dan layak secara komersial.
“Selain itu, sistem pengembangannya diharapkan dapat diterapkan di semua jenis lahan dengan memanfaatkan sumber daya lokal dan ramah lingkungan,” kata Dwi.
Dia berharap penelitian tentang aplikasi industri dan komersial perlu dilakukan dengan memperhatikan permintaan industri dan pasar, seperti standar kualitas, kuantitas, dan ekonomi.
Memperbanyak strain (sub-kultur) unggul mikroalga lokal yang dapat ditumbuhkan di berbagai lahan juga perlu dilakukan untuk memacu peningkatan animo masyarakat dalam menerapkan aplikasi teknologi biofuel generasi ketiga.
Laporan: Redaksi