Sistem Rotasi Jahe-Padi Tongling mengandung filosofi menyeimbangkan budi daya dan meningkatkan kesuburan, yang kondusif bagi pembangunan berkelanjutan lingkungan dan sistem pertanian.
Hefei, China (Xinhua) – ‘Hujan Biji-bijian’, yang merupakan posisi matahari terakhir pada musim semi, mengindikasikan peningkatan suhu dan peningkatan curah hujan. Itu adalah periode terbaik untuk menanam jahe putih di Tianmen, Kota Tongling di Provinsi Anhui, China timur. Di sini, para petani jahe sibuk menebang batang bambu dan jerami untuk membangun gubuk bagi jahe putih yang akan segera tumbuh.
Sekitar 20 hari yang lalu, para petani jahe di Tianmen, daerah penghasil utama jahe putih di Tongling, membawa bibit jahe putih keluar dari paviliun jahe, dan berdoa untuk cuaca yang baik melalui tarian naga dan ritual pemberkatan. Tradisi itu disebut ‘Upacara Pembukaan Paviliun Jahe’, dan merupakan bagian penting dari budaya jahe setempat.
Dengan iklim yang hangat dan lembap serta sinar matahari yang melimpah, Tongling mulai menanam jahe putih sekitar dua ribu tahun silam. Sejak zaman kuno, berbagai teknik pengawetan dan budi daya bibit telah dikembangkan, dan dengan demikian terbentuklah ‘Sistem Rotasi Jahe-Padi Tongling’ (Tongling Ginger-Rice Rotation System) yang spesial. Pada 2023, sistem ini diakui sebagai salah satu Sistem Warisan Pertanian yang Penting Secara Global.
Dengan mengenakan topi capingnya, Sheng Yiwu (55) memegang bohlam dan masuk ke dalam paviliun jahe yang penuh sesak untuk memeriksa perkecambahan bibit jahe putih. Sebagai veteran penjaga jahe putih di Desa Wufeng, Tianmen, setiap tahun Shen akan membantu berton-ton bibit jahe putih bertunas di dalam sembilan paviliun miliknya.
Struktur paviliun jahe tradisional sangat istimewa. Dindingnya berlapis lumpur dan dilengkapi dengan pintu kayu kecil serta lubang ventilasi. Di dalamnya terdapat sebuah rak tinggi yang terbuat dari kayu antipanas dan disusun berbentuk persegi guna memaksimalkan pemanfaatan ruang yang terbatas. Setiap paviliun jahe mampu menyimpan sekitar 10 ton bibit jahe putih.
“Kandungan air jahe putih cukup tinggi sehingga mudah busuk jika disimpan di ruang bawah tanah. Paviliun jahe memiliki isolasi termal yang lebih baik dan dapat menyesuaikan suhu dan kelembapan kapan saja melalui kayu bakar dan ventilasi, jadi kami mulai menggunakannya lebih dari 1.000 tahun yang lalu,” ujar Sheng Yiwu, sembari bersandar di paviliun jahe yang sempit dan memandangi bibit jahe yang telah bertunas.
Setiap musim dingin, bibit jahe ditutupi dengan daun teratai dan kemudian ditempatkan di dalam paviliun jahe. Api dinyalakan di bawah paviliun untuk menjaga suhu yang sesuai dan membantu bibit-bibit tersebut bertunas hingga musim semi berikutnya. Dibutuhkan waktu sekitar 4 hingga 5 bulan untuk mencapainya, dan setiap hari, Sheng harus membakar hampir 25 kg jerami dan kayu bakar agar dapat menyesuaikan dengan perubahan suhu.
Ribuan tahun kemudian, masih ada lebih dari 70 paviliun jahe tradisional di Tongling yang mewarisi “kearifan para leluhur” dan terus membudidayakan bibit jahe putih berkualitas tinggi, ujar Sheng Yiwu.
Setelah mengeluarkan bibit yang bertunas, Jiang Meiduo, seorang petani jahe putih besar di Desa Wufeng, Tianmen, bergegas ke ladang jahe untuk menggali guludan tanah. Jika dilihat dari atas, itu tampak seperti lukisan geometris di ladang.
“Pada musim panas dan musim semi, peningkatan curah hujan mungkin berdampak buruk pada jahe putih. Namun, guludan dapat membantu mengalirkan air hujan sehingga hama dan kerusakan pada jahe dapat dicegah,” tutur Jiang.
Pada Mei, ketika bibit jahe putih mulai bertunas dari dalam tanah, petani jahe setempat akan memasang atap jerami pada ketinggian 1,5 meter di atas permukaan tanah, untuk membuat pancaran cahaya matahari tersebar.
“Kebutuhan jahe terhadap sinar matahari akan meningkat, dan jerami akan layu serta memberikan lebih banyak ruang bagi sinar matahari,” ungkap Jiang, seraya menambahkan bahwa jerami kering nantinya dapat digunakan sebagai bahan bakar di paviliun jahe. “Ibarat lingkaran, tak ada yang tertinggal,” ujarnya.
Sembari melihat hamparan sawah dan ladang rapa di sekitar ladang jahe putih, Yao Jigui, peneliti dari Biro Pertanian dan Pedesaan Tongling, mengatakan bahwa penanaman jahe putih secara terus-menerus memerlukan konsumsi pupuk yang besar, dan akan mengakibatkan penurunan keanekaragaman mikroba tanah. Jadi, petani setempat memilih melakukan rotasi dengan tanaman lain, dan ini dapat menyelesaikan masalah serupa dengan baik dan meraup hasil panen yang tinggi dari semua tanaman.
Faktanya, pada zaman China kuno, para ahli agronomi telah menunjukkan bahwa rotasi tanaman merupakan tindakan yang efektif untuk bercocok tanam. “Sistem Rotasi Jahe-Padi Tongling” mengandung filosofi menyeimbangkan budi daya dan meningkatkan kesuburan, yang kondusif bagi pembangunan berkelanjutan lingkungan dan sistem pertanian.
Saat ini, jahe putih yang ditanam dengan pendekatan tradisional dan ekologis menjadi sumber pendapatan penting bagi petani setempat.
Menurut statistik, area penanaman jahe putih di Kota Tongling mencapai sekitar 6.000 mu atau 400 hektare, dengan total output 10.000 ton pada 2023, dan lebih dari 89 produk olahan telah dikembangkan, dengan nilai output komprehensif sekitar 1 miliar yuan renminbi pada 2023.
*1 yuan = 2.248 rupiah
Laporan: Redaksi