Banner

AS kekurangan data ras dan etnis untuk lacak rasisme sistemik

Orang-orang menghadiri aksi unjuk rasa untuk memperingati satu tahun kematian George Floyd yang diadakan di New York, Amerika Serikat, pada 25 Mei 2021. (Xinhua/Wang Ying)

Rasisme sistemik di AS telah lama menjadi masalah nasional, namun dinilai sulit diatasi karena kurangnya data statistik resmi terkait ras dan etnis warga yang ditahan atau tewas di tangan kepolisian.

 

Paris, Prancis (Xinhua) – Kurangnya data terkait ras dan etnis warga yang ditahan atau tewas di tangan kepolisian di banyak negara, termasuk Amerika Serikat (AS), menghadirkan penghalang utama untuk mengatasi rasisme sistemik, lapor jaringan berita televisi internasional kelolaan pemerintah Prancis France 24.

Pascapembunuhan George Floyd (46), pria kulit hitam tak bersenjata, oleh seorang petugas polisi AS berkulit putih di Minneapolis pada Mei 2020 lalu, sekelompok pakar dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyampaikan bahwa “sangat penting” untuk membuat rasisme sistemik “terlihat” di seluruh dunia.

Di AS, tidak ada sistem terpusat untuk mengumpulkan data statistik lebih dari 18.000 lembaga penegak hukum, kata France 24, melansir pernyataan dari sejumlah penyelidik PBB.

Namun, menurut Collette Flanagan, yang mendirikan Mothers Against Police Brutality setelah Clinton Allen, putranya yang berkulit hitam, tewas dibunuh polisi di Dallas, Texas, pada 2013, seorang warga kulit hitam “2,5 kali lebih mungkin ditembak” hingga tewas oleh polisi di AS.

Banner

Putranya tidak membawa senjata, namun petugas polisi berkulit putih yang menembaknya sebanyak tujuh kali tersebut “menganggap putra saya sebagai ancaman,” tutur Flanagan kepada sejumlah pakar PBB. Dan, si polisi lolos dari semua pertanggungjawaban pidana maupun perdata atas pembunuhan terhadap putranya.

Ini merupakan “kebutuhan yang krusial untuk mengumpulkan, menganalisis, memanfaatkan, dan memublikasikan data yang dipilah berdasarkan ras atau asal etnis,” ujar Yvonne Mokgoro, mantan hakim asal Afrika Selatan yang mengepalai kelompok pakar PBB tersebut.

Menurut Mokgoro, pemrofilan rasial (racial profiling) dan penggunaan kekuatan yang berlebihan selama dan sesudah interaksi dengan petugas penegak hukum dan sistem peradilan pidana telah dilaporkan namun tidak ditunjukkan pada data statistik resmi.

Ini adalah “langkah esensial pertama untuk menyoroti betapa parahnya rasisme sistemik terhadap warga Afrika dan orang-orang keturunan Afrika,” imbuhnya.

Laporan: Redaksi

Banner

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Banner

Iklan