Wickremesinghe, sekutu Rajapaksa, adalah salah satu pesaing utama untuk mengambil kursi kepresidenan penuh waktu tetapi pengunjuk rasa juga menghendaki dirinya turun dari jabatan.
Jakarta (Indonesia Window) – Penjabat Presiden Sri Lanka, yang juga menjabat perdana menteri, Ranil Wickremesinghe, telah mengumumkan keadaan darurat, menurut pemberitahuan pemerintah yang dirilis pada Ahad malam (17/7).
Pengumuman tentang keadaan darurat Sri Lanka tersebut disampaikan oleh Wickremesinghe di tengah upaya pemerintahannya memadamkan kerusuhan sosial dan mengatasi krisis ekonomi yang mencengkeram negara pulau berpenduduk 22 juta jiwa itu.
“Adalah bijaksana, demikian untuk dilakukan, demi kepentingan keamanan umum, perlindungan ketertiban umum dan pemeliharaan persediaan dan layanan yang penting bagi kehidupan masyarakat,” bunyi pemberitahuan itu.
Presiden terguling Sri Lanka Gotabaya Rajapaksa, yang melarikan diri ke luar negeri pekan ini untuk menghindari pemberontakan rakyat terhadap pemerintahnya, mengatakan dia mengambil “semua langkah yang mungkin” untuk mencegah krisis ekonomi yang melanda negara di Asia Selatan tersebut.
Pengunduran diri Gotabaya Rajapaksa diterima oleh parlemen pada hari Jumat (15/7). Dia terbang ke Maladewa dan kemudian Singapura setelah ratusan ribu pengunjuk rasa anti-pemerintah turun ke jalan-jalan Kolombo sepekan yang lalu dan menduduki kediaman dan kantor resminya.
Parlemen Sri Lanka bertemu pada hari Sabtu (16/7) untuk memulai proses pemilihan presiden baru. Pada hari yang sama, pengiriman bahan bakar tiba untuk memberikan bantuan kepada negara yang dilanda krisis itu.
Wickremesinghe, sekutu Rajapaksa, adalah salah satu pesaing utama untuk mengambil kursi kepresidenan penuh waktu tetapi pengunjuk rasa juga menghendaki dirinya turun dari jabatan. Mempertahakan posisinya di pemerintahan yang telah kehilangan kepercayaan rakyat akan mengarahkan Sri Lanka ke prospek kerusuhan lebih lanjut.
Zona bahaya
Sri Lanka telah dimasukkan dalam daftar negara yang berada dalam zona bahaya karena tidak mampu membeli barang kebutuhannya dari luar negeri.
Pada bulan Mei, pemerintahannya gagal melakukan pembayaran bunga atas utang luar negerinya untuk pertama kalinya dalam sejarah.
Kegagalan membayar bunga utang dapat merusak reputasi suatu negara di mata investor, sehingga mempersulitnya untuk meminjam uang yang dibutuhkannya di pasar internasional.
Selanjutnya, keadaaan ini bisa merusak kepercayaan pada mata uang dan ekonominya.
Pemerintah Rajapaksa sebelumnya telah menyalahkan pandemik Covid, yang sangat mempengaruhi sektor pariwisata Sri Lanka, salah satu penghasil mata uang asing terbesarnya.
Pemerintah mengatakan bahwa wisatawan ketakutan oleh serangkaian serangan bom mematikan pada 2019.
Namun, banyak ahli menyalahkan manajemen ekonomi Presiden Rajapaksa yang buruk.
Pada akhir perang saudara pada tahun 2009, Sri Lanka memilih untuk fokus pada penyediaan barang ke pasar domestik, daripada mencoba untuk meningkatkan perdagangan luar negeri.
Artinya pendapatan dari ekspor ke negara lain tetap rendah, sementara tagihan impor terus meningkat.
Sri Lanka sekarang mengimpor 3 miliar dolar AS lebih banyak daripada ekspornya setiap tahun, dan itulah sebabnya negara ini kehabisan mata uang asing.
Pada akhir 2019, Sri Lanka memiliki cadangan mata uang asing sebesar 7.6 miliar dolar AS, lalu turun menjadi sekitar 250 juta dolar AS.
Rajapaksa juga dikritik karena pemotongan pajak besar yang dia perkenalkan pada 2019, yang menghilangkan pendapatan pemerintah lebih dari 1,4 miliar dolar AS setahun.
Ketika kelangkaan mata uang asing Sri Lanka menjadi masalah serius di awal tahun 2021, pemerintah mencoba membatasinya dengan melarang impor pupuk kimia.
Pemerintah mengatakan kepada para petani untuk menggunakan pupuk organik lokal sebagai gantinya, memicu gagal panen yang meluas.
Di sisi lain, Sri Lanka harus menambah stok makanannya dari luar negeri, yang membuat kekurangan mata uang asingnya semakin parah.
Sumber: Reuters; BBC
Laporan: Redaksi