Feature – Warga Palestina tolak usulan relokasi Trump, bertekad tetap tinggal di Gaza meski hadapi kesulitan

Trump menyebut Gaza sebagai “sebidang real estate penting yang luar biasa” dan menyarankan agar warga Palestina dipindahkan ke negara-negara lain.
Gaza, Palestina (Xinhua/Indonesia Window) – Di kota Khuza’a yang terletak di Jalur Gaza bagian selatan, Hussam Dalloul Qudeih (41), merenungkan masa depannya saat menyaksikan matahari terbenam dari sebuah sekolah yang diubah menjadi tempat penampungan, sementara perang yang terus berlangsung dengan Israel memengaruhi seluruh aspek kehidupannya.
“Kami adalah rakyat dari tanah ini. Akar kami sudah tertanam kuat,” kata Qudeih kepada Xinhua. “Bahkan jika kami harus tidur di bawah atap yang runtuh dan berjalan di atas pecahan kaca, kami tidak akan meninggalkan tanah ini.”
Perkataannya mencerminkan semangat perlawanan yang semakin kuat di kalangan warga Gaza setelah Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menyarankan agar mereka direlokasi ke negara lain.
Dalam pertemuan di Washington dengan Perdana Menteri (PM) Israel Benjamin Netanyahu pada Senin (7/4), Trump menyebut Gaza sebagai “sebidang real estate penting yang luar biasa” dan menyarankan agar warga Palestina dipindahkan ke negara-negara lain.
Pernyataan Trump memicu kemarahan di seluruh wilayah Palestina, di mana banyak yang melihatnya sebagai bagian dari upaya yang lebih besar untuk menggusur rakyat Gaza.
“Ini bukan ide baru. Ini kebijakan lama yang dibungkus dengan kata-kata baru,” ujar Qudeih, yang seperti banyak warga Palestina lainnya telah beberapa kali mengungsi dalam beberapa bulan terakhir. “Mereka ingin mengusir kami atas nama perdamaian. Namun, perdamaian bukan berarti pengasingan.”
Sejak dimulainya kembali operasi militer Israel di Gaza pada 18 Maret lalu, setidaknya 1.522 warga Palestina tewas dan lebih dari 3.800 lainnya terluka, menurut sejumlah otoritas kesehatan yang berbasis di Gaza pada Kamis (10/4). Serangan Israel telah menghancurkan seluruh permukiman di wilayah kantong Palestina itu, memaksa banyak orang mengungsi dari rumah mereka. Namun, meski dalam kondisi yang sangat sulit ini, banyak warga tetap teguh untuk bertahan.
Aida al-Salmi (35), yang berprofesi sebagai guru sekaligus ibu dari lima anak, kini tinggal bersama ribuan keluarga lainnya di tenda-tenda dan tempat penampungan darurat di area Al-Mawasi, sebuah jalur tanah sempit di sepanjang pesisir yang membentang dari Deir al-Balah di Gaza tengah hingga Khan Younis dan Rafah di selatan. Bagi al-Salmi dan keluarganya, setiap hari di tempat itu adalah perjuangan. Kelangkaan makanan dan air bersih, ditambah ancaman serangan udara Israel yang tanpa henti, menjadikan perjuangan untuk bertahan hidup semakin berat.
Meskipun suasana hatinya terombang-ambing antara keputusasaan dan harapan di tengah kondisi yang suram, al-Salmi memandang usulan relokasi sebagai penghinaan terhadap martabat keluarganya dan ikatan mereka yang mendalam dengan tanah tersebut.
“Anak-anak kami lahir di sini. Mereka mengenal setiap jalan, setiap pohon zaitun. Kami tidak ingin direlokasi. Kami ingin hidup damai di tanah kami,” katanya.

Hussam al-Dajani, seorang analis politik yang berbasis di Gaza, mengatakan bahwa pernyataan Trump mengungkap pola pikir yang melihat Gaza hanya sebagai “sebidang real estate” dan bukan sebagai rumah bagi lebih dari 2 juta jiwa.
“Pendekatan ini mengabaikan realitas politik, budaya, dan kemanusiaan yang ada di lapangan,” kata al-Dajani. “Hal ini sejalan dengan narasi ekstrem yang berupaya menghapus perjuangan warga Palestina dengan menyingkirkan rakyatnya.”
Al-Dajani juga menambahkan bahwa usulan “relokasi sukarela” adalah hal yang menyesatkan, karena diajukan di saat warga hidup dalam pengepungan, setelah kehilangan rumah, pekerjaan, dan orang-orang tercinta. “Dalam tekanan seperti ini, apanya yang benar-benar sukarela?” tanyanya.
“Setiap kali terjadi perang, mereka membicarakan ke mana kami akan dikirim, misalnya Mesir, Turkiye, atau Eropa, tetapi tidak ada yang membicarakan hak kami untuk tetap tinggal (di tanah ini),” kata Qudeih.
Laporan: Redaksi