Pacu Jawi: Tradisi balap sapi di Tanah Minang yang memacu adrenalin
Tradisi Pacu Jawi awalnya merupakan bagian dari perayaan setelah panen padi, sebagai ungkapan syukur atas hasil bumi yang melimpah, dan kini menjadi perlombaan yang mempertaruhkan kehormatan dan kebanggaan peternak sapi.
Bogor, Jawa Barat (Indonesia Window) – Di tengah hamparan sawah nan hijau dan berlumpur, ribuan orang berkumpul menyaksikan adu kecepatan yang tak biasa – sapi berlari kencang sambil menarik seorang joki yang bergantung di belakangnya. Inilah Pacu Jawi, tradisi unik dari Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat, yang telah berlangsung turun-temurun dan menjadi simbol kebanggaan masyarakat Minangkabau.
Asal usul budaya
Pacu Jawi, yang secara harfiah berarti ‘pacuan sapi’, diperkirakan telah ada sejak abad ke-17. Awalnya, tradisi ini merupakan bagian dari perayaan setelah panen padi, sebagai ungkapan syukur atas hasil bumi yang melimpah. Kini, Pacu Jawi tidak hanya menjadi ajang hiburan, tetapi juga perlombaan yang mempertaruhkan kehormatan dan kebanggaan peternak sapi.
Pacu Jawi bukan sekadar lomba, tapi juga budaya yang mempererat hubungan antarwarga dan melestarikan kearifan lokal.
Dalam Pacu Jawi, sepasang sapi jantan dipacu di sawah berlumpur sepanjang 60–100 meter. Seorang joki (biasanya remaja atau dewasa muda) berdiri di atas palangai (bajak kayu) yang diikatkan ke tubuh sapi, lalu memegang ekor atau pinggang sapi untuk menjaga keseimbangan. Tidak ada tali kekang, sehingga kendali penuh bergantung pada keterampilan joki dan insting si sapi.
Pemenang pacuan ditentukan berdasarkan kecepatan dan ketepatan sapi berlari lurus di jalur yang ditentukan. Sapi yang meliuk-liuk atau keluar jalur akan didiskualifikasi. Uniknya, hadiah bagi pemenang bukan uang, tetapi kebanggaan dan harga diri.

Daya tarik
Pacu Jawi selalu menarik banyak penonton, baik lokal maupun turis domestik dan mancanegara. Sensasi melihat sapi berlari kencang dengan cipratan lumpur menjadi tontonan yang memacu adrenalin.
Namun, tradisi ini juga menuai kritik dari aktivis hak hewan yang khawatir akan keselamatan sapi. Hal ini banyak ditepis oleh para peternak, yang menyatakan bahwa sapi-sapi yang “bertarung” selalu diberi makan dan mendapatkan waktu istirahat yang cukup. Selain itu, tidak ada tindak kekerasan yang dikenakan terhadap binatang ternak ini.
Pelestarian budaya
Pemerintah setempat telah menetapkan Pacu Jawi sebagai warisan budaya tak benda dan mempromosikannya sebagai atraksi wisata. Event ini biasanya digelar di Kecamatan Sungai Tarab, Pariangan, dan Limo Kaum, terutama usai musim panen, yakni selama April–Juni dan November–Desember.
Dengan semangat ‘adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah’ masyarakat Minang berkomitmen melestarikan Pacu Jawi tanpa menghilangkan nilai-nilai tradisi dan agama.
Pacu Jawi adalah bukti kekayaan budaya Indonesia yang memadukan sportivitas, seni, dan kearifan lokal. Di tengah derap modernisasi, tradisi ini tetap bertahan, menjadi magnet wisata dan kebanggaan masyarakat Sumatera Barat.
Selesai
Disarikan dari berbagai sumber

.jpg)








