Jakarta (Indonesia Window) – Kelompok perusahaan energi Prancis TotalEnergies mengatakan pada Jumat bahwa pihaknya telah memutuskan untuk menarik diri dari Myanmar karena situasi hak asasi manusia yang memburuk di sana.
Dengan begitu, TotalEnergies menjadi perusahaan Barat terbaru yang mundur menyusul kudeta di negara tersebut tahun lalu.
“Situasi, dalam hal hak asasi manusia dan secara lebih umum supremasi hukum, yang terus memburuk di Myanmar sejak kudeta Februari 2021, telah membuat kami menilai kembali situasi dan tidak lagi memungkinkan TotalEnergies untuk memberikan kontribusi yang cukup positif di negara itu,” katanya dalam sebuah pernyataan.
“Akibatnya, TotalEnergies telah memutuskan untuk memulai proses kontraktual penarikan dari lapangan Yadana dan dari MGTC di Myanmar, baik sebagai operator maupun sebagai pemegang saham, tanpa kompensasi finansial untuk TotalEnergies.”
TotalEnergies mengatakan telah memberi tahu mitranya di Myanmar tentang penarikannya, yang akan berlaku efektif paling lambat setelah periode kontrak enam bulan.
Perjanjian sebelumnya menetapkan bahwa kepentingan TotalEnergies akan dibagi di antara mitra saat ini, kecuali jika mereka keberatan dengan alokasi tersebut, dan bahwa peran operator akan diambil alih oleh salah satu dari mereka, katanya.
TotalEnergies mengatakan telah menjadi mitra dan operator blok lapangan gas Yadana M5 dan M6 di Myanmar sejak 1992, bersama mitranya Unocal-Chevron, PTTEP, anak perusahaan dari perusahaan energi nasional Thailand PTT, dan perusahaan milik negara Myanmar MOGE.
Lapangan Yadana menghasilkan sekitar 6 miliar meter kubik gas per tahun, kata TotalEnergies dalam pernyataannya. Sekitar 70 persen diekspor ke Thailand untuk dijual ke PTT dan 30 persen ke MOGE untuk penggunaan dalam negeri, kata TotalEnergies dalam pernyataannya.
“Gas ini membantu menyediakan sekitar setengah dari listrik di Kota Yangoon dan memasok bagian barat Thailand,” katanya.
Laporan: Redaksi