“Keempat obat tersebut adalah Favipiravir, Remdesivir, Regdanvimab, dan Molnupiravir.”
Jakarta (Indonesia Window) – Saat ini ada empat jenis obat yang telah mendapatkan izin Emergency Use Authorization (EUA) atau izin penggunaan darurat sebagai obat terapi infeksi virus COVID-19 di Indonesia.
“Keempat obat tersebut adalah Favipiravir, Remdesivir, Regdanvimab, dan Molnupiravir,” kata Direktur Pengawasan Produksi Obat, Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), Apt. Dra. Togi Junice Hutadjulu, dalam keterangan di Depok, Jawa Barat, Kamis, dikutip dari Antara.
Dia menerangkan, informatorium edisi ketiga yang diterbitkan oleh BPOM mencantumkan obat terapi COVID-19 yang termasuk golongan antivirus, antara lain Favipiravir, Remdesivir, Molnupiravir, Proksalutamid, dan Oseltamivir.
Meskipun data dari BPOM menunjukkan bahwa industri farmasi di Indonesia sedang dalam tahap persiapan produksi obat antivirus COVID-19, dan sebagian di antaranya telah aktif memproduksi obat tersebut, Togi Hutadjulu mengingatkan bahwa tidak ada obat yang benar-benar aman.
Hal itu menurutnya, karena setiap obat pasti memiliki efek samping. Karenanya, masyarakat diharapkan dapat memanfaatkan laman situs resmi BPOM atau aplikasi Halo BPOM untuk memperoleh informasi yang akurat dan benar terkait obat-obatan.
Antivirus
Pada 22 April 2022, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengeluarkan rekomendasi kuat untuk nirmatrelvir dan ritonavir, yang dijual dengan nama Paxlovid, untuk pasien COVID-19 dengan gejala ringan dan sedang, namun berisiko tertinggi masuk rumah sakit.
WHO menyebut obat antivirus ini sebagai pilihan terapi infeksi virus terbaik untuk pasien COVID-19 berisiko tinggi di Indonesia hingga saat ini.
Sementara itu, obat antivirus oral Pfizer (kombinasi tablet nirmatrelvir dan ritonavir) sangat direkomendasikan untuk pasien COVID-19 bergejala ringan, yang berisiko paling tinggi terkena penyakit parah dan dirawat di rumah sakit, seperti pasien yang tidak divaksinasi, lanjut usia, atau mengalami imunosupresi (sistem imun tertekan).
Rekomendasi ini didasarkan pada data baru dari dua uji coba terkontrol secara acak yang melibatkan 3.078 pasien. Data menunjukkan bahwa risiko rawat inap berkurang 85 persen setelah perawatan dengan obat tersebut.
Sumber: Antara; WHO
Laporan: Redaksi