Taksidermi adalah seni menyiapkan, mengisi, dan memasang kulit hewan yang telah mati, dan kini telah menjadi seni yang langka dan terancam punah di Myanmar.
Yangon, Myanmar (Xinhua/Indonesia Window) – Di bagian sudut Yangon yang sunyi, tersembunyi di antara jalanan yang ramai, berdiri sebuah tenda sederhana yang dipenuhi dengan tubuh hewan mati yang diawetkan melalui taksidermi. Di tempat inilah U Myo Naing (52), salah satu dari segelintir ahli taksidermi di Myanmar, telah menjaga seni ini tetap hidup selama lebih dari 25 tahun.
“Taksidermi adalah seni menyiapkan, mengisi, dan memasang kulit hewan yang telah mati. Saya belajar seni taksidermi dari guru saya, U Paw Than,” ujar U Myo Naing.
“Di Myanmar, taksidermi merupakan seni yang langka dan terancam punah. Saya terus mempraktikannya karena saya ingin mewariskan taksidermi kepada generasi mendatang dan melestarikan seni ini di negara kami,” tambahnya.
“Saya mengundang para pelaku hobi yang ingin belajar taksidermi. Ada beberapa orang yang mempelajari seni ini, tetapi tidak ada yang menyelesaikan kursusnya. Kebanyakan dari mereka mempelajarinya sebagai hobi, bukan untuk mencari nafkah. Jadi, kami membutuhkan generasi baru untuk melestarikan kerajinan langka ini,” sebutnya.
Phyo Arkar, yang telah mengabdikan diri selama lebih dari empat tahun untuk mempelajari taksidermi, mengatakan, “Saya tertarik pada bentuk seni yang langka ini dan melihat ada nilai tersendiri dalam melestarikan satwa liar yang langka serta hewan-hewan peliharaan kesayangan dalam bentuk yang sama persis dengan aslinya, bahkan setelah hewan-hewan tersebut mati. Meski saya masih mencari cara untuk mencari nafkah dari seni ini, saya percaya seni ini sangat bermanfaat bagi para pencinta hewan peliharaan.”
Ko Pyae, yang telah mempelajari taksidermi selama sekitar satu bulan, mengatakan, “Meski tertarik dengan seni ini, saya tidak berencana menghasilkan uang darinya. Saya kira seni ini masih bisa membantu para pecinta hewan peliharaan melalui cara lain.”
“Saya biasanya mengerjakan dua atau tiga hewan untuk taksidermi dalam sebulan, meski terkadang, tidak ada tawaran sama sekali. Kendati demikian, saya tetap melanjutkan pekerjaan ini karena saya ingin melestarikan seni ini untuk generasi mendatang,” ungkap U Myo Naing.
“Saat ini, hanya ada dua ahli taksidermi utama di Myanmar, termasuk saya. Saya memberikan kursus di sejumlah universitas untuk mempromosikan seni ini dan mendorong para penggemar untuk melestarikan kerajinan langka ini,” tuturnya.
Laporan: Redaksi