Jakarta (Indonesia Window) – Sedikitnya 20 migran Afrika tewas akibat kapal yang mereka tumpangi tenggelam di lepas pantai Tunisia pada Kamis (24/12), saat mencoba menyeberangi Mediterania menuju pulau Lampedusa di Italia, menurut laporan CNN.
Sekitar 45 orang berada di kapal saat tenggelam.
“Kapal itu tenggelam sekitar enam mil dari pantai Sfax. Dua puluh mayat ditemukan, lima lainnya diselamatkan, dan semuanya berasal dari Afrika sub-Sahara,” kata pejabat keamanan, Ali Ayari.
Penjaga pantai masih mencari 200 orang yang lain.
Garis pantai Sfax telah menjadi titik keberangkatan utama bagi orang-orang yang melarikan diri dari konflik dan kemiskinan di Afrika dan Timur Tengah untuk mencari kehidupan yang lebih baik di Eropa.
Sejumlah negara, termasuk Italia dan Malta, mengalami peningkatan kedatangan para migran dari Tunisia dan Libya melalui jalur laut tahun ini.
Para migran Tunisia mengeluhkan pengangguran yang tinggi dan kondisi sosial-ekonomi yang tidak pasti, yang telah mendorong mereka keluar dari kampung halaman.
Sementara di Libya, konflik dan perang menjadi faktor utama, nasib para migran telah diperparah oleh pandemik virus corona.
Organisasi kemanusiaan mengatakan penolakan di perbatasan negara seperti Yunani, tidak adanya penyelamatan laut di Mediterania, dan pengaturan karantina virus corona yang tidak sehat telah menciptakan tantangan besar.
Kematian pada hari Kamis menambah daftar panjang yang tercatat tahun ini.
Sebanyak 1.111 migran tewas di Mediterania pada tahun 2020, menurut Organisasi Internasional Untuk Migrasi (IOM).
Bulan lalu, setidaknya 74 migran tewas dalam kapal karam di lepas pantai Khums, Libya, dengan anak-anak di antara yang tewas.
Pada bulan Oktober, setidaknya 140 migran tenggelam di lepas pantai Senegal. IOM menggambarkan peristiwa tersebut sebagai kapal karam paling mematikan tahun ini.
Kepala Misi IOM Libya, Federico Soda, mengatakan bahwa, “Meningkatnya jumlah korban jiwa di Mediterania adalah manifestasi dari ketidakmampuan negara-negara untuk mengerahkan kapasitas pencarian dan penyelamatan di laut perlintasan yang paling mematikan di dunia.”
Soda menyerukan untuk mengakhiri pengembalian ke negara asal dan membangun mekanisme pendaratan yang jelas diikuti dengan solidaritas dari negara lain.
Kematian terkait migrasi seringkali tidak dilaporkan dan tidak tercatat, dan pandemik telah mempersulit pengumpulan data tersebut, menurut IOM.
Laporan: Raihana Radhwa