Memahami sabuk radiasi sebagai pelindung bagi Bumi

Foto yang diabadikan pada 14 Mei 2024 ini menunjukkan cahaya matahari terbenam di atas langit Beijing, ibu kota China. (Xinhua/Li He)

Sabuk radiasi elektron dipengaruhi oleh kondisi angin Matahari yang berasosiasi dengan aktivitas Matahari, dan dapat diamati melalui sunspot.

 

Bogor, Jawa Barat (Indonesia Window) – Bumi memiliki sabuk radiasi yang terdiri atas dua lapisan, yaitu sabuk radiasi dalam, dan sabuk radiasi luar atau sabuk radiasi elektron. Sabuk ini berada pada ketinggian 25.000 hingga 45.000 km dari permukaan Bumi, di mana banyak satelit komunikasi dan televisi mengorbit.

Hal tersebut diungkapkan oleh peneliti Pusat Riset Antariksa, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Siska Filawati, di Bandung, pada Senin (29/7), dalam kegiatan ‘Dialog Obrolan Fakta Ilmiah Populer dalam Sains Antariksa’ (DOFIDA) yang disiarkan langsung di kanal YouTube BRIN Indonesia.

“Memahami dan memitigasi dampak dari aktivitas Matahari terhadap sabuk radiasi elektron menjadi sangat penting untuk mencegah gangguan pada satelit-satelit ini,” tambah Siska.

Siska menjelaskan bahwa sabuk radiasi elektron dipengaruhi oleh kondisi angin Matahari yang berasosiasi dengan aktivitas Matahari. Aktivitas ini dapat diamati melalui sunspot yang bisa memicu flare. Flare merupakan pelepasan energi yang dapat memicu terjadinya Coronal Mass Ejection (CME), yaitu pelepasan massa korona Matahari yang dapat mengakibatkan kerusakan satelit, gangguan navigasi, dan komunikasi radio serta gangguan listrik di Bumi.

Selain CME, lubang korona Matahari dapat memicu corotating interaction region (CIR) dan high-speed stream (HSS) yang juga dapat mengganggu magnetosfer Bumi. Angin Matahari dengan kecepatan tinggi, medan magnet antarplanet yang besar, dan densitas yang meningkat dapat menyebabkan sabuk radiasi elektron bergerak lebih dekat ke Bumi, sehingga meningkatkan fluks elektron dalam selang 2 hingga 3 hari.

Pengamatan sabuk radiasi elektron merupakan pengamatan landas-antariksa. Salah satu satelit yang melakukan pengamatan ini adalah satelit GOES (Geostationary Operational Environmental Satellite). Satelit GOES, yang mengorbit pada orbit geostasioner, memainkan peran kunci dalam memantau kondisi sabuk radiasi elektron. Fluks elektron dengan energi ≥ 2 MeV yang diamati oleh satelit ini dapat menyebabkan gangguan signifikan pada satelit komunikasi.

Dalam kesempatan tersebut, Siska juga menjawab beberapa pertanyaan mengenai sabuk radiasi, termasuk pengamatan landas antariksa, penggunaan satelit GOES, ketinggian sabuk radiasi elektron, pengaruh aktivitas Matahari, dan dampak radiasi elektron terhadap komunikasi satelit serta kehidupan di Bumi. Selain itu, dia mengulas mengenai tantangan dan kendala terbesar dalam penelitian sabuk radiasi serta riset-riset terbaru yang menjadi isu menarik di bidang ini.

“Kita tidak perlu khawatir dengan sabuk radiasi elektron. Saya ingin berkolaborasi dengan universitas untuk mendiskusikan bagaimana ilmu teori dapat dipraktikkan dalam pekerjaan seputar antariksa,” pungkas Siska dalam pernyataan penutupnya.

Dia juga berharap pengetahuan masyarakat mengenai fenomena antariksa semakin meningkat dan mendorong penelitian lebih lanjut di bidang ini. “Dengan pemahaman yang lebih baik, masyarakat dan para peneliti dapat bekerja sama dalam upaya mitigasi gangguan yang mungkin timbul dari aktivitas Matahari dan fenomena antariksa lainnya,” tuturnya.

Laporan: Redaksi

Tinggalkan Komentar

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Iklan