Rumah paliatif dan hospice bertujuan menyediakan perawatan kesehatan yang holistik dan menyeluruh bagi para pasien kanker, dengan melibatkan keluarga mereka agar bisa selalu mendukung dalam setiap tahap pengobatan kanker.
Jakarta (Indonesia Window) – Cara tepat dan cepat dalam mengatasi meningkatnya kasus kanker adalah dengan melakukan deteksi dini, kata Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin saat menyampaikan sambutan dalam acara bincang petang ‘A Cup for Lives’ yang digelar oleh Yayasan Kanker Anak Indonesia (YKAI) di Jakarta, awal pekan ini.
“Data yang saya dapatkan, ada sekitar 20 juta kasus kanker di seluruh dunia, dengan 10 juta di antaranya meninggal dunia,” ujar menkes.
Sementara itu, Indonesia mencatat 400.000 kasus dengan pertumbuhan yang sangat cepat, dengan 250.000 pasien meninggal.
“Perbedaan antara angka di tingkat global dan di tingkat nasional ini terjadi karena rendahnya deteksi dini, sehingga kasus ini diketahui setelah di stadium 3 atau 4,” ujar Budi Sadikin, seraya menambahkan bahwa 70-80 persen kasus kanker di Indonesia termasuk “late detection” (deteksi terlambat), yang akhirnya, 90 persen dari jumlah total pasien meninggal dunia.
Lebih lanjut menkes menekankan bahwa selain upaya pengobatan, edukasi kepada masyarakat tentang pentingnya deteksi dini kanker harus digalakkan.
“Fokus pemerintah saat ini adalah meningkatkan upaya deteksi dini kanker di kalangan masyarakat umum,” tuturnya, lalu menekankan bahwa deteksi dini juga bertujuan meningkatkan kualitas hidup, terutama bagi para pasien.
“Ada empat jenis kanker yang paling tinggi di Indonesia. Untuk perempuan, yakni breast cancer (kanker payudara) dan kanker serviks (leher rahim), sementara untuk laki-laki, lung cancer (kanker paru-paru) dan colon cancer (kanker usus),” papar menkes.
Dia berharap, masyarakat tidak takut untuk melakukan deteksi dini, terutama untuk kasus kanker payudara yang kebanyakan dialami oleh kaum perempuan.
“Deteksi dini breast cancer sangat mudah, yaitu hanya dengan meraba. Jika kasus kanker diketahui sejak awal, maka upaya pengobatan akan lebih cepat dilakukan dengan potensi kesembuhan yang tinggi,” ujar Budi Sadikin.
Sementara itu, lanjutnya, pengobatan kanker memerlukan waktu yang relatif lama dengan perawatan yang holistik, mulai dari diagnosa hingga pemulihan.
“Pasien harus stay lama di rumah sakit, dan di sinilah kita memerlukan hospice,” ujar menkes.
Membangun rumah paliatif dan hospice sebagai akomodasi atau tempat tinggal sementara bagi pasien yang akan menjalani perawatan kanker menjadi cita-cita YKAI.
“Program pembangunan rumah paliatif dan hospice ini bertujuan menyediakan perawatan yang holistik dan menyeluruh bagi para pasien kanker, dengan melibatkan keluarga mereka agar selalu bisa mendukung dalam setiap tahap pengobatan kanker,” tutur Ketua Yayasan Kanker Anak Indonesia, Sallyana Sorongan.
Pelayanan paliatif yang digagas oleh YKAI, menurutnya, akan mencakup perawatan fisik, mental, psikologis, sosial, dan tidak hanya ditujukan bagi para pasien dengan kanker, namun juga keluarga mereka.
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), perawatan paliatif adalah pedekatan pemberian perawatan medis antardisiplin yang bertujuan untuk mengoptimalkan kualitas hidup dan mengurangi penderitaan pasien yang mengidap penyakit serius, kompleks, dan mematikan.
“Pembangunan rumah paliatif dan hospice oleh YKAI akan dimulai akhir tahun 2023,” ujar Sallyana, seraya menerangkan bahwa nantinya akan dibangun perkebunan dan peternakan organik yang menjadi bagian dari fasilitas kesehatan ini, dan dapat dimanfaatkan oleh para pasien dan keluarga mereka.
Lebih lanjut dia menegaskan bahwa rumah paliatif tersebut ditujukan bagi anak-anak pejuang kanker dari keluarga prasejahtera di seluruh Indonesia, yang juga akan mendapatkan dukungan fasilitas transportasi dari YKAI.
Berbagai upaya YKAI untuk turut terlibat dalam memberikan pelayanan kesehatan bagi anak-anak dengan kanker tersebut mendapat apresiasi dan dukungan dari sejumlah rumah sakit di Tanah Air.
Menurut dokter spesialis anak di RS Kanker Dharmais, dr. Reni Wigati, salah satu masalah yang paling signifikan dalam layanan kesehatan di Indonesia adalah masih banyaknya masyarakat yang kesulitan mendapatkan “access to care”.
“Masyarakat masih kesulitan mencapai diagnosis sederhana, apalagi mendapatkan terapi komprehensif, atau terapi sel untuk transplantasi,” jelasnya.
Di rumah paliatif, imbuh dr. Reni, pasien kanker bisa mendapatkan support mulai dari awal diagnosis hingga pulih. Di fasilitas ini pula, “kita bisa mendekatkan para pasien ke keluarga mereka di masa-masa akhir hidup mereka,” tuturnya.
Dia menunjukkan bahwa 50 persen pasien kanker di Tanah Air telah memasuki stadium lanjut, sementara 70 persen pasien meninggal, yang salah satu alasannya adalah keluarga atau orangtua mereka memutuskan untuk tidak lagi melanjutkan perawatan karena alasan ekonomi, atau terapi medis sudah tidak bisa menyembuhkan.
“Kami sangat menyambut baik upaya Yayasan Kanker Anak Indonesia untuk mendirikan hospice dan rumah paliatif pertama di Indonesia,” ujar dr. Reni.
Pada acara high tea ‘A Cup for Lives’ yang digelar di Jakarta pada Senin (23/10) lalu, YKAI yang berdiri pada 2004, mengenalkan ‘Humanity in Harmony’, yakni inisiatif program utamanya untuk pembangunan hospice dan rumah paliatif bagi anak-anak pejuang kanker dari keluar prasejahtera di Tanah Air.
Laporan: Redaksi