Banner

Resensi Buku: Ketika Bocah Berfilsuf (Catatan menjadi pengeja sebuah buku)

Pada sisi itulah galibnya buku ini, ditulis oleh seorang bocah perempuan yang masih duduk di bangku SD, cara enteng dan sederhana, ia mengulas pertanyaan-pertanyaan tentang hakikat Tuhan. Meskipun itu, dimaklumi jika kadarnya masih berstandar nalar kanak-kanak. Belum argumentatif.

Siapa yang menciptakan Allah?

Kenapa bukan aku yang jadi tuhan?

Banner

Mengacu pertanyaan sekisaran itu, silahkan saja. Tapi menyiapkan jawaban guna mencukupkan kepuasan si penanya, tidak mudah. Justru pelik.

Wajar jika banyak pihak berbalik, memilih tawaran pertanyaan yang baru. Jika bukan, malah mencap si penanya telah ‘musyrik’.

***

Banner

Pada sisi itulah galibnya buku ‘Ketika Bocah Berfilsuf’ ini – kiriman yang baru saja saya terima – ditulis oleh seorang bocah perempuan yang masih duduk di bangku SD, cara enteng dan sederhana, ia mengulas pertanyaan-pertanyaan tentang hakikat Tuhan. Meskipun itu, dimaklumi jika kadarnya masih berstandar nalar kanak-kanak. Belum argumentatif.

Penulisnya, Atabiya Radhwa Sagena Hasyim. Kini telah duduk di bangku kelas 3 reguler Pesantren Gontor (putri) di Ngawi, Jawa Timur. Tapi, 22 judul esai dalam buku yang terbit April 2022 tahun ini, mayoritas dia tulis kala masih duduk di bangku SD Muhammadiyah di Samarinda, Kalimantan Timur.

Saya tak mengenalinya. Saya hanya dekat mengenali ibunya, juga neneknya. Pada 2016, enam tahun lalu, ibunya mengirim di FB selembar catatan harian ditulis Radhwa, kala itu ia masih duduk di bangku kelas 2 SD. Saya nyaris tak percaya, apa mungkin bocah seusia dirinya mampu menulis catatan harian cara bertutur dan alur yang runtut? Pilihan kalimat dan diksinya, telah melampaui usianya.

Banner

Mulanya saya curiga, catatan harian itu buatan ibunya yang juga sejak remaja gemar menulis, kini ia dosen Universitas Mulawarman. Didera rasa penasaran, saya membacanya berulang, mengeja cara cermat, saya menemukan banyak diksi yang mustahil mampu lagi ditemukan oleh seorang yang telah berusia dewasa.

Radhwa berhasil meyakinkan saya, jika catatan harian itu, murni buah karyanya. Tapi apa iya? Keyakinan dan pertanyaan yang menggeliat di benak, saya tulis. Saya muat di halaman FB, 31 Maret 2016.

Kelak waktu, tulisan saya itu, diminta pihak penerbit untuk dimasukan sebagai pengantar, ‘Catatan Pengeja’ di buku ini.

Banner

***

Dulu, di tahun 2016, kala itu saya menuliskan kesan tentang catatan harian ditulis Radhwa, tahu saya dirinya hanyalah seorang bocah perempuan yang lihai bersiasat memijakkan buah catur di atas papan dwi-warna.

Tak tanggung, dirinya mewakili Kalimantan Timur untuk kejuaraan catur kanak-kanak tingkat nasional. Bermain catur, ia punya prinsip ‘win-win solution’. Ia ingin jadi juara, tanpa mengalahkan lawannya ‘win-lose’.

Banner

Setiba buku ini di tangan saya, rupanya ini buku kelima karya Radhwa yang diterbitkan. Pun juga saya baru tahu, jika telah banyak tulisan Radhwa diterbitkan media nasional. Satunya, tulisannya termuat di Majalah Kanak-Kanak Bobo dari kelompok Gramedia.

“Asal Anda tahu,” jelas penulis juga wartawan senior, mendiang Arswendo Atmowiloto di suatu kesempatan kepada saya. Kata dia, menulis untuk Bobo, itu jauh lebih rumit jika dibanding untuk tulisan media lain.

Dalihnya, satunya mesti menggunakan bahasa dan rangkai kalimat yang mampu dicerna kanak-kanak pembaca Bobo. Dan menyusun tulisan macam itu, tentu rumit bagi penulis yang telah berusia dewasa.

Banner

Jauh lebih tepat, jika penulis Majalah Bobo adalah juga kanak-kanak. Dan Radhwa telah lolos uji sahih urusan itu. Tulisan Radhwa telah dimuat di halaman Bobo.

***

Membaca, menimang-nimang buku setebal 98 + xii halaman ini, ada satu soal masih mengganjal di benak saya. Gerangan apa misteri terpendam pada sosok Radhwa ini? Ia bocah, jago bersiasat catur, pula jago menulis? Ajaibnya, galibnya menulis ikhwal filsifat pula.

Banner

Saya menerka beralas ilmu ‘cocoklogi’-nya bos Jamu Jago, Jaya Suprana. Bermain catur, butuh berfikir. Filsuf itu, berfikir. Satu sahabat saya, acapkali menghadapi papan catur, yang difikirkan bukan siasat memijakkan buah caturnya, tapi difikir siapa gerangan yang mula mencipta permainan catur.

Tak kecuali, bagi Radhwa. Simultan melekat pada dirinya: ia pecatur, ia juga penulis. Ia berfikir, ia juga menulis. Acapkali ia menghela nafas, malah difikirkan gerangan apa nafas itu? Apakah sama saja dengan roh? Seperti ia ulas di salah satu esainya di buku ini.

Demikian itulah, “Cogitu Ergo Sum” ujar filsuf Perancis, Rene Descartes. Aku berfikir maka itulah aku ada. Dan itulah dalih, kenapa di halaman Facebook tertera tulisan warna kelabu, “Apa yang Anda fikirkan sekarang?”.

Banner

Dan kita seringkali alfa, malah enteng mengisinya tentang “apa yang sedang kita kerjakan”.

Makassar, 10 Oktober 2022

Penulis: Armin Mustamin Toputiri

Banner

Tinggalkan Komentar

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Iklan