Advokat: Hentikan “kongkalingkong” Baleg DPR RI

Pengacara Dr. TM Luthfi Yazid (mengepalkan tangan) turut serta dalam demo di Yogyakarta baru-baru ini, terkait pembahasan Baleg DPR RI yang menganulir putusan MK No. 60 yang memungkinkan partai politik yang tidak punya kursi di DPRD dapat mencalonkan kepala daerah (Foto: Dok. pribadi)

Putusan Mahkamah Konstitusi No. 60/PUU-XXII/2024 terkait Ambang Batas Pencalonan Kepala Daerah “dibegal” oleh Badan Legislatif (Baleg) DPR RI.

 

Yogyakarta (Indonesia Window) – Pengamat Hukum Tata Negara yang juga Ketua Umum Dewan Pergerakan Advokat Republik Indonesia (DePa-RI) Dr. TM Luthfi Yazid, menyesalkan sikap Badan Legislatif (Baleg) DPR RI yang berusaha menganulir dan membegal putusan Mahkamah Konstitusi No. 60/PUU-XXII/2024 terkait Ambang Batas Pencalonan Kepala Daerah.

“Putusan MK No. 60 inilah yang mau dianulir oleh Baleg DPR RI. Putusan itu memungkinkan partai yang tidak punya kursi di DPRD dapat mencalonkan Kepala Daerah,” kata Alumnus UGM dan Warwick University Inggris itu dalam perbincangan dengan wartawan di Yogyakarta, Kamis.

Mantan pengacara capres Prabowo Subianto dalam Pilpres 2019 dan pengacara capres Ganjar Pranowo tahun 2024 itu mengendus niat Rapat Baleg DPR RI yang ugal-ugalan serta menerapkan barbarianisme hukum dalam membahas revisi UU Pilkada serta berusaha menganulir putusan MK dengan alasan sebagai berikut:

Pertama, motif utama Baleg DPR RI adalah materi dan kekuasaan. Sebab dengan adanya putusan MK No. 60 tersebut, maka kartel partai politik untuk kepentingan Pilkada telah diamputasi oleh MK.

Kedua, selama ini untuk menjadi gubernur, bupati atau wali kota, sang calon harus membayar “upeti dan mahar” kepada partai politik dengan jumlah yang sangat besar. Dengan adanya putusan MK No. 60, peran partai politik dalam urusan Pilkada diminimalisir.

Ketiga, putusan MK adalah sejajar dengan UU dan sifatnya final and binding dan karenanya harus dilaksanakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Sebab itu, tidak dapat dianulir bahkan oleh MK sendiri.

Upaya busuk yang dilakukan Baleg DPR untuk membahas revisi UU Pilkada serta upaya untuk mengambil keputusan terhadap RUU tentang Perubahan Keempat atas UU No 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota menjadi UU dengan demikian harus dihentikan.

Keempat, apa yang dilakukan oleh Baleg DPR RI hanyalah puncak gunung es dari carut-marutnya persoalan bangsa, terutama dalam satu dasawarsa ini. Hal ini bukan saja mencederai nilai demokrasi, namun juga inkonstitusional serta merupakan langkah pembusukan total (total decayed) atas prinsip negara hukum.

Upaya yang dilakukan oleh Baleg DPR RI adalah juga merupakan sebuah anarkisme hukum (legal anarchism) yang berdampak jangka panjang dan mengancam demokrasi di Tanah Air.

Luthfi Yazid mengaku jadi teringat bagaimana Presiden Sukarno membubarkan DPR (Konstituante) melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959, dan Konstituante benar-benar lenyap di zaman itu.

Presiden Gus Dur juga pernah mengeluarkan Dekrit Presiden tanggal 23 Juli 2001, tapi sayangnya Dekrit Gus Dur tidak memiliki “power of force”, sehingga parlemen saat itu tetap bercokol, berkuasa.

Dua Presiden RI yang karismatik itu vis a vis dengan DPR, sementara Presiden Jokowi saat ini justru berangkulan dengan DPR. Suatu perbedaan yang tentunya sangat mencolok.

Oleh sebab itu, menurut Luthfi Yazid yang juga berprofesi sebagai advokat dan pernah menjadi peneliti dan dosen tamu di University of Gakushuin Tokyo itu, tidak ada jalan lain selain menciptakan kesadaran kolektif untuk membangun kembali demokrasi demi menjaga mandat konstitusional dan marwah bangsa mewujudkan negara hukum yang berkeadilan.

Dia menyatakan, masyarakat sipil, para cendekiawan, para advokat, buruh, petani, mahasiswa dan elemen masyarakat lainnya harus berani peduli dan bersuara demi tegaknya hukum dan keadilan di negeri ini.

“Perjuangan menegakkan cita-cita negara hukum yang berkeadilan, inilah saatnya, sekarang, atau kita akan tenggelam sebagai sebuah bangsa,” tegasnya.

Keberlanjutan keculasan yang dipertontonkan maupun yang tidak tampak selama ini sudah semestinya ditinggalkan dan malah harus “diperangi” bersama.

“Ingatlah bahwa keberanian itu seperti virus. Ia akan menular. Justitia Omnibus, justice for all, keadilan untuk semua,” katanya menambahkan.

Laporan: Redaksi

Tinggalkan Komentar

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Iklan