Jakarta (Indonesia Window) – Saat bepergian baik di dalam maupun luar kota, kita sering kali melihat pedagang kecil di pinggir jalan, di depan toko atau di pelataran gedung-gedung perkantoran.
Para pedagang tersebut baik tua maupun muda bahkan anak-anak, pria maupun wanita, menjajakan berbagai barang dari makanan dan minuman hingga souvenir dengan harga yang relatif murah bahkan sangat murah.
Namun sadar atau tidak, kita masih menawar dan meninggalkan pedagang saat harga yang kita harapkan tidak dapat dipenuhi oleh mereka.
Padahal saat berbelanja di supermarket, kita membeli berbagai produk tanpa menawar walaupun harganya relatif lebih mahal dari barang yang dijajakan oleh pedagang-pedagang kecil, demikian tutur Parni Hadi pendiri Yayasan Dompet Dhuafa.
“Dompet Dhuafa (DD) harus menginisiasi langkah fair trade (perdagangan yang adil) sebagai bentuk pembelaan kepada mustahik (orang yang berhak menerima termasuk fakir miskin),” kata Parni Hadi baru baru ini.
Bude DD
Dalam salah satu upaya mewujudkan fair trade DD melakukan uji coba model pengembangan berbasis desa (bukan perorangan). Program tersebut berupa Badan Usaha Desa (Bude) DD: menuju desa mandaya (mandiri berdaya).
Program Bude Dompet Dhuafa (DD) tersebut memberi prioritas kepada penerima manfaat dhuafa, terutama ibu-ibu janda selepas paruh baya (sekitar usia 50 ke atas).
Program Bude Dompet Dhuafa tersebut meliputi pemberian modal kerja (uang, bibit, sarana produksi), pendidikan dan pelatihan ketrampilan tekhnis, pendampingan, akses pemasaran (termasuk via teknologi digital milenial), penagihan dan pengelolaan sisa hasil usaha, Parni menjelaskan.
“Pemberdayaannya harus modern, harus mengikuti tren bisnis yang tengah berkembang, walaupun bisnis itu berada bukan di kota besar. Jauh dari kesan becek dan kotor. Bude bersih dan wangi,” tutur Parni seraya menambahkan, mottonya dari mustahik, muzaki (pemberi zakat) dan mitra usaha dalam bingkai bisnis sosial profetik (kenabian) atau filantropreneur (wirausaha kedermawanan).
Laporan: Redaksi