Presiden Irak terpilih Abdul Latif Rashid berjanji akan melindungi konstitusi, kedaulatan, persatuan, dan kemerdekaan Irak, serta mengerahkan segala upaya guna membawa kekuatan politik lebih dekat melalui dialog, termasuk menyelesaikan masalah antara wilayah semiotonom Kurdistan dan pemerintah pusat di Baghdad.
Baghdad, Irak (Xinhua) – Presiden Irak yang baru terpilih Abdul Latif Rashid mulai menjabat pada Senin (17/10), mengungkapkan harapannya agar pemerintahan yang baru dapat dibentuk dengan cepat.
“Kami memikirkan apa yang ditunggu rakyat Irak dari pemerintahan baru, yang kami harapkan dapat dibentuk dengan cepat, serta bersifat kuat, efisien, dan terpadu guna memenuhi aspirasi rakyat akan keamanan, stabilitas, dan pelayanan,” kata Rashid dalam pidato yang disiarkan di televisi dalam upacara yang diadakan di istana kepresidenan di Baghdad.
Rashid berjanji akan melindungi konstitusi, kedaulatan, persatuan, dan kemerdekaan Irak, serta mengerahkan segala upaya guna membawa kekuatan politik lebih dekat melalui dialog, termasuk menyelesaikan masalah antara wilayah semiotonom Kurdistan dan pemerintah pusat di Baghdad.
“Saya juga akan berusaha membangun hubungan yang kuat dan seimbang antara Irak, negara-negara tetangga, dan masyarakat internasional untuk mendukung kepentingan bersama,” tambah Rashid.
Pada 13 Oktober, parlemen Irak memilih Rashid sebagai presiden baru, menandai sebuah langkah penting menuju pembentukan pemerintahan baru negara itu dan mengakhiri kebuntuan politik yang berlangsung selama setahun.
Menurut sistem pembagian kekuasaan di Irak setelah 2003, kursi kepresidenan harus diduduki oleh orang Kurdi, jabatan ketua parlemen oleh orang Sunni, dan jabatan perdana menteri oleh orang Syiah.
Rashid terpilih di saat ketegangan politik terus meningkat dalam beberapa bulan terakhir antara Gerakan Sadrist yang dipimpin ulama Syiah Moqtada al-Sadr, pemenang terbesar dalam pemilihan parlemen pada 2021, dan rival-rival mereka dalam Kerangka Koordinasi (Coordination Framework/CF), sebuah kelompok payung partai parlemen Syiah.
Al-Sadr menuntut pembubaran parlemen dan mengadakan pemilihan umum lebih awal, tetapi ditolak oleh partai-partai CF, yang menjadi blok terbesar setelah al-Sadr memerintahkan para pengikutnya untuk mundur dari parlemen pada Juni.
Laporan: Redaksi