Perluasan permukiman Israel yang terus-menerus dilakukan di Tepi Barat yang diduduki, termasuk Yerusalem Timur, telah memperdalam kebutuhan akan bantuan kemanusiaan, secara signifikan memicu kekerasan, meningkatkan risiko konfrontasi, semakin mengukuhkan pendudukan, dan merongrong hak rakyat Palestina untuk menentukan nasibnya sendiri.
PBB (Xinhua) – Sekretaris Jenderal (Sekjen) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Antonio Guterres pada Rabu (28/6) mengecam langkah pemerintah Israel yang menyetujui rencana pembangunan ribuan rumah tambahan di sejumlah permukiman Israel di Tepi Barat, demikian menurut pernyataan juru bicara PBB pada Rabu tersebut.
Sekjen PBB mengecam keras pemufakatan yang dicapai pada Senin (26/6) soal rencana pembangunan lebih dari 5.500 unit rumah di permukiman Israel di Area C Tepi Barat yang diduduki, termasuk regularisasi retroaktif, di bawah hukum Israel, terhadap tiga pos permukiman yang berdekatan dengan permukiman Eli, kata Farhan Haq, wakil juru bicara Guterres, dalam sebuah pernyataan.
Area C Tepi Barat berada di bawah kendali sipil dan keamanan penuh Israel.
“Sekjen menegaskan kembali bahwa permukiman tersebut merupakan pelanggaran mencolok terhadap hukum internasional dan resolusi PBB yang relevan. Dia sekali lagi mendesak pemerintah Israel untuk menghentikan dan membatalkan perluasan permukiman di wilayah Palestina yang diduduki, menghentikan semua kegiatan permukiman di wilayah Palestina yang diduduki dengan segera dan sepenuhnya, serta menghormati kewajiban hukumnya dalam hal itu sebaik-baiknya,” demikian bunyi pernyataan itu.
Perluasan permukiman Israel yang terus-menerus dilakukan di Tepi Barat yang diduduki, termasuk Yerusalem Timur, telah memperdalam kebutuhan akan bantuan kemanusiaan, secara signifikan memicu kekerasan, meningkatkan risiko konfrontasi, semakin mengukuhkan pendudukan, dan merongrong hak rakyat Palestina untuk menentukan nasibnya sendiri, urai pernyataan itu.
“Proyek permukiman yang sedang berlangsung ini telah mengikis peluang pendirian negara Palestina berdaulat yang layak dan berdampingan, berdasarkan garis-garis perbatasan pra-1967, sehingga menghambat kemampuan untuk mencapai solusi dua negara yang layak, serta perdamaian yang adil, abadi, dan komprehensif,” imbuh pernyataan itu.
Laporan: Redaksi