Pengabdian Jesus Guanche Perez telah membuahkan hasil yang bermanfaat, dengan serangkaian karya akademis yang diterbitkan satu demi satu, termasuk Ethnographic Dictionaries on the Peoples of the World, Latin American and Caribbean Studies on China, Cultural Identities and Diversity: Interculturalism vs Multiculturalism.
Shijiazhuang, China (Xinhua) – Selama bertahun-tahun, Jesus Guanche Perez, seorang antropolog budaya veteran asal Kuba, memandang China sebagai negara yang jauh nan menarik, tetapi baru pada 2018, dia dapat menjelajahi negara itu berkat undangan dari sebuah universitas swasta.
Peluang tersebut datang ketika Universitas Kajian Internasional Hebei di Shijiazhuang, ibu kota Provinsi Hebei di China utara, mengirimkan email kepada Guanche Perez. Email tersebut menanyakan apakah akademisi senior itu bersedia bergabung dengan universitas tersebut sebagai wakil presidennya.
Akademisi berusia 74 tahun yang pernah tinggal dan bekerja di beberapa benua, termasuk Amerika Utara, Eropa, dan Afrika, itu banyak memberikan sumbangsih di bidang antropologi budaya dan telah mendapatkan berbagai gelar dari lembaga-lembaga akademis, seperti Akademi Ilmu Pengetahuan Kuba dan Akademi Ilmu Pengetahuan New York.
Didorong oleh perpaduan yang sempurna antara bidang yang ditekuninya dan pengalaman profesionalnya di dunia akademis serta posisi yang ditawarkan oleh Universitas Kajian Internasional Hebei, Guanche Perez menerima tawaran jabatan tersebut setelah berkomunikasi selama beberapa bulan. Dia pun akhirnya memulai perjalanan dari kota kelahirannya di Karibia ke kota di China utara itu.
Guanche Perez cepat beradaptasi dengan lingkungan budaya baru di China dan secara gigih terus mendalami studi akademisnya.
“Dari Senin hingga Jumat, Anda selalu melihatnya menulis selama berjam-jam tanpa henti di meja kantornya, kecuali untuk istirahat sejenak dan menangani urusan administrasi,” kata Yang Zhen, wakil presiden Universitas Kajian Internasional Hebei.
Pengabdian Guanche Perez telah membuahkan hasil yang bermanfaat, dengan serangkaian karya akademis yang diterbitkan satu demi satu, termasuk Ethnographic Dictionaries on the Peoples of the World, Latin American and Caribbean Studies on China, Cultural Identities and Diversity: Interculturalism vs Multiculturalism.
Di China, dia juga menyaksikan perkembangan pesat negara itu serta terkesan dengan pencapaian kebijakan reformasi dan keterbukaannya, maupun upaya pengentasan kemiskinannya.
Setelah mendapatkan pengetahuan tentang politik, ekonomi, dan budaya China secara langsung, Guanche Perez menjadi tertarik pada Inisiatif Sabuk dan Jalur Sutra (Belt and Road Initiative/BRI) yang diprakarsai oleh China dan mulai memasukkan penelitiannya tentang BRI ke dalam kajiannya tentang sejarah global.
BRI memunculkan konsepsi baru tentang kerja sama dan menyediakan platform yang setara untuk pembangunan berbagai negara dan bangsa, tutur Guanche Perez.
Di bawah inisiatif ini, China dan Amerika Latin terus memperdalam aliran perdagangan dan terus meningkatkan skala perdagangan. Sejak 2012, China mempertahankan posisinya sebagai mitra dagang terbesar kedua bagi Amerika Latin, tunjuk data dari Kementerian Perdagangan China. Pada 2022, volume perdagangan antara China dan Amerika Latin mendekati 500 miliar dolar AS, mempertahankan pertumbuhan yang cepat selama enam tahun berturut-turut.
Memuji kemajuan kerja sama China-Amerika Latin, Guanche Perez mengatakan, “Ini adalah hasil menguntungkan yang harus tumbuh melalui implementasi proyek bersama.”
BRI tidak hanya terbatas pada aspek ekonomi dan teknologi. Lebih penting lagi, inisiatif ini memiliki dimensi budaya. “Proyek global ini merupakan contoh strategi untuk mencapai masa depan bersama untuk kemanusiaan yang bercirikan perdamaian abadi dan keberlanjutan yang terus meningkat,” katanya.
Memuji delapan langkah utama yang diumumkan oleh China pada 2023 untuk meningkatkan kerja sama Sabuk dan Jalur Sutra berkualitas tinggi, Guanche Perez mengatakan, “Saya melihat masa depan yang luar biasa dan cemerlang untuk proyek global ini. Ini bukan hanya inisiatif untuk China, melainkan sebuah inisiatif untuk dunia.”
Kuba menjadi negara pertama di belahan bumi barat yang menjalin hubungan diplomatik dengan Republik Rakyat China. Bagi Guanche Perez, pertukaran dan kerja sama antara China dan Kuba tidak hanya menjadi subjek penting penelitian akademis, tetapi juga sebuah inspirasi yang membuatnya berpartisipasi secara aktif.
Mulai dari pembentukan pusat penelitian BRI gabungan China-Cuba di Universitas Kajian Internasional Hebei hingga promosi kegiatan pertukaran akademis antara lembaga pendidikan tinggi China dan Kuba, Guanche Perez telah memberikan dukungan dan bantuan dengan kemampuan terbaiknya.
Pada 2020, sebagai pengakuan atas kontribusinya yang luar biasa bagi pembangunan sosial ekonomi Provinsi Hebei, dia menerima penghargaan persahabatan dari pemerintah provinsi tersebut.
“Kehormatan ini tidak hanya untuk saya, tetapi juga milik universitas kami. Ini juga merupakan simbol persaudaraan antara Kuba dan China,” kata Guanche Perez pada upacara penyerahan penghargaan tersebut.
*1 dolar AS = 16.225 rupiah
Laporan: Redaksi