Banner

Jakarta (Indonesia Window) – Tomat dengan gen yang telah direkayasa untuk membuat vitamin D (kadang-kadang dikenal sebagai vitamin sinar matahari), mungkin merupakan solusi sederhana dan tahan lama untuk masalah kesehatan di seluruh dunia.

Para peneliti menggunakan pengeditan gen untuk mematikan komponen tertentu dalam DNA tanaman, yang meningkatkan kadar provitamin D3 pada buah dan daun tomat. Ketika terkena radiasi UVB (ultraviolet tipe B), itu berubah menjadi vitamin D3.

Pengeditan gen

Vitamin D diproduksi di tubuh kita sebagai akibat dari paparan kulit terhadap radiasi UVB, meskipun sumber utamanya adalah makanan, menurut ScienceDaily.

Tanaman biofortifikasi baru ini mungkin bermanfaat bagi jutaan orang yang menderita kekurangan vitamin D, masalah yang meningkat terkait dengan peningkatan risiko kanker, demensia, dan banyak penyebab utama kematian lainnya.

Banner

Kekurangan vitamin D juga telah dikaitkan dengan peningkatan keparahan infeksi Covid-19, menurut penelitian.

Tomat secara alami mengandung jumlah yang sangat rendah dari salah satu komponen pembangun vitamin D3, provitamin D3 atau 7-dehydrocholesterol (7-DHC), di daunnya.

Biasanya, provitamin D3 tidak terakumulasi dalam buah tomat matang.

Kelompok Profesor Cathie Martin dari John Innes Centre menggunakan pengeditan gen CRISPR-Cas9 untuk mengubah kode genetik tanaman tomat sehingga provitamin D3 terakumulasi dalam buah tomat.

Daun tanaman yang dimodifikasi memiliki hingga 600 ug provitamin D3 per gram berat kering.

Orang dewasa harus mengonsumsi 10 ug vitamin D setiap hari.

Banner

Saat menanam tomat, daunnya biasanya dibuang, tetapi daun dari tanaman yang diubah dapat digunakan untuk membuat suplemen vitamin D3 yang ramah vegan atau fortifikasi makanan.

GMO (Organisme yang Dimodifikasi Secara Genetik)

GMO (Genetically Modified Organisms) atau organisme yang dimodifikasi secara genetik) adalah makhluk hidup yang gennya telah diubah dalam beberapa cara.

GMO dapat berupa hewan atau mikroorganisme, tetapi paling umum pada tanaman seperti jagung atau kentang yang telah dimodifikasi secara genetik di laboratorium untuk meningkatkan jumlah atau kualitas makanan yang mereka hasilkan.

Tanaman transgenik menawarkan banyak keuntungan, namun beberapa kelompok khawatir bahwa mereka mungkin memiliki dampak kesehatan yang merugikan, menurut Insider.

Manusia telah memodifikasi DNA tanaman selama ribuan tahun melalui proses pemuliaan silang tanaman yang melelahkan.

Banner

Saat ini, para ilmuwan dapat mengubah tanaman lebih cepat dengan memodifikasi DNA mereka di laboratorium.

Anda mungkin telah memakan tanaman transgenik tanpa pernah menyadarinya.

Pada tahun 2018, benih hasil rekayasa genetika menyumbang sekitar 92 persen jagung dan 94 persen kedelai yang ditanam di Amerika Serikat.

Banyak tanaman transgenik telah dimodifikasi agar tidak terlalu rentan terhadap serangga dan hama lainnya. Bt-jagung, misalnya, adalah tanaman transgenik yang mengandung gen dari Bacillus thuringiensis, bakteri tanah alami.

Gen ini memungkinkan jagung untuk membuat protein yang membunuh berbagai hama dan serangga, sehingga membantu dalam perlindungan jagung.

Ketika ilmuwan transgenik memperkenalkan DNA baru ke dalam sel tanaman, mereka sering memasukkan gen tambahan yang membuat sel yang diubah menjadi resisten terhadap antibiotik.

Banner

Mereka kemudian dapat menggunakan antibiotik untuk menghancurkan sel tumbuhan yang tidak menerima DNA baru.

Namun, para peneliti menemukan bahwa gen resisten antibiotik ini tidak serta merta menghilang begitu Anda mencerna makanan transgenik, tetapi berpotensi dapat ditularkan ke sistem pembuangan kotoran melalui kotoran Anda.

Beberapa spesialis khawatir bahwa gen ini akan diperoleh oleh bakteri berbahaya yang ada di saluran pembuangan atau usus Anda, menyebabkan penyakit bencana seperti infeksi staph.

Infeksi Staph disebabkan oleh bakteri staphylococcus. Jenis kuman ini banyak ditemukan pada kulit atau hidung orang sehat.

Ini berarti bahwa pengobatan antibiotik standar tidak akan efektif melawan bakteri super baru ini.

Sumber: https://www.natureworldnews.com/

Banner

Laporan: Redaksi

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Banner

Iklan