Jakarta (Indonesia Window) – Keputusan memindahkan ibu kota negara ke Penajam Paser Utara dan Kutai Kertanegara di Kalimantan Timur diharapkan meningkatkan kesejahteraan masyarakat di dua daerah tersebut dan sekitarnya.
Selain mimpi manis demikian, rencana tersebut tentu membawa sejumlah dampak sosial yang harus diantisipasi sedini mungkin, demikian dikutip dari situs jejaring Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) di Jakarta, Jumat.
Pada pembukaan Seminar Nasional Rencana Pemindahan Ibu Kota Negara dan Implikasinya Terhadap Kehidupan Sosial Penduduk di Jakarta pada Kamis (26/11), Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemanusiaan LIPI, Tri Nuke Pudjiastuti, mewanti-wanti agar pemindahan ibu kota negara tidak menimbulkan marginalisasi terhadap masyarakat lokal yang akan berlanjut pada konflik sosial.
Menurut Nuke masalah sosial sangat mungkin terjadi menyusul migrasi sekitar 1,5 juta Aparatur Sipil Negara (ASN) beserta keluarga mereka pada 2045 ke ibu kota baru.
“ASN yang akan pindah mayoritas berpendidikan S1 ke atas, padahal di daerah calon ibu kota negara baru mayoritas penduduknya masih lulusan SMA. Perlu dipikirkan adaptasi agar penduduk lokal juga mendapat kualitas kehidupan yang sama,” jelas Nuke.
Sementara itu, Deputi Bidang Koordinasi Pemberdayaan Masyarakat, Desa dan Kawasan pada Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Sonny Harry B. Harmadi, mengatakan proses pembangunan ibu kota negara dapat menimbulkan proses back wash yang akan menyapu sumber daya daerah ke luar.
“Back wash dapat mengurangi sumber daya di wilayah sekitar pembangunan. Ini harus ditangani, jangan sampai pembangunan ibu kota negara membawa kemunduran untuk wilayah lain,” ujar Sonny.
Tantangan lain yang mengemuka dari pemindahan ibu kota negara adalah pemenuhan kebutuhan pendatang.
Kepala Lembaga Demografi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Turro S. Wongkaren, menerangkan bahwa 2/3 dari keluarga ASN memiliki anak usia sekolah, dan satu dari enam anak masih duduk di bangku Sekolah Dasar.
“Pemerintah di daerah baru harus bisa menyediakan sekolah yang baik. Jangan sampai ketidaktersediaan fasilitas pendidikan membuat keluarga ASN tidak mau pindah padahal ibu kota butuh penduduk,” jelas Turro.
Menurut Turro, ibu kota baru memerlukan banyak penduduk guna memastikan adanya konsumen (demand) sehingga harga barang atau kebutuhan dapat terjangkau.
Banyaknya penduduk juga akan membawa keragaman sektor industri.
“Jika konsumen tidak banyak, maka barang kebutuhan harus diimpor dari daerah lain, dan biayanya harus ditanggung oleh warga yang sedikit ini. Hal ini membuat harga barang menjadi mahal,” jelas Turro.
Laporan: Redaksi