Pembuangan air limbah radioaktif dari pembangkit listrik tenaga nuklir Fukushima Daiichi yang rusak di Jepang timur laut ke Samudra Pasifik akan dimulai pada musim semi atau musim panas tahun ini, namun mendapat penolakan keras dari kalangan publik, terutama di industri perikanan, yang merasa tidak nyaman dengan keputusan tersebut.
Tokyo, Jepang (Xinhua) – Rencana terbaru pemerintah Jepang terkait pembuangan air limbah radioaktif, yang dijadwalkan untuk diimplementasikan pada musim semi atau musim panas tahun ini, mendapat reaksi negatif di kalangan publik, terutama di industri perikanan, yang merasa tidak nyaman dengan keputusan tersebut.
Pemerintah Jepang pada Jumat (13/1) mengatakan rencana kontroversial untuk membuang air limbah radioaktif dari pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) Fukushima Daiichi yang rusak di Jepang timur laut ke Samudra Pasifik akan dimulai pada musim semi atau musim panas.
Rencana Jepang untuk membuang air yang terkontaminasi nuklir ke laut diduga melanggar Konvensi Pencegahan Pencemaran Laut dengan Membuang Limbah dan Zat Lainnya (Convention on the Prevention of Marine Pollution by Dumping of Wastes and Other Matter), serta protokol 1996 konvensi tersebut, kata Masahide Kimura, anggota kelompok kampanye antinuklir Jepang, kepada Xinhua.
Rencana semacam itu juga melanggar Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Undang-Undang Kelautan karena Kementerian Luar Negeri Jepang mengakui bahwa area pembuangan limbah itu bukanlah area perairan pedalaman, kata Kimura.
Kimura meyakini bahwa penyebaran material radioaktif tidak boleh dibiarkan karena satu-satunya cara untuk melakukan pencegahan adalah penyimpanan, dan berbagai upaya harus diprioritaskan untuk menghentikan masuknya air tanah dan mencegah terus bertambahnya air yang terkontaminasi nuklir.
Kementerian Lingkungan Hidup Jepang belum melakukan penilaian terhadap dampak lingkungan dari praktik pembuangan air yang terkontaminasi nuklir selama puluhan tahun ke Samudra Pasifik Utara, katanya.
“Penolakan terhadap pembuangan air olahan ke laut tidak berubah sedikit pun,” kata Masanobu Sakamoto, Presiden Federasi Koperasi Perikanan Nasional Jepang, dalam pernyataannya pada Jumat, menuntut respons serius dari pemerintah.
Dukungan pemerintah bagi industri perikanan sangat penting untuk mengimbangi kerusakan yang terjadi pada reputasinya, kata Takuya Tasso, Gubernur Prefektur Iwate di Jepang, kepada awak media.
Meskipun informasi yang diperkuat telah dikeluarkan oleh pemerintah dan Tokyo Electric Power Company (TEPCO) sejak Desember lalu, rencana pembuangan itu saat ini belum memperoleh “pemahaman penuh dari masyarakat dan pemangku kepentingan di sektor perikanan,” menurut Hiroyuki Uchida, Wali Kota Iwaki di Prefektur Fukushima.
Uchida berharap pemerintah dan TEPCO akan dengan sungguh-sungguh memenuhi komitmen awal mereka, yang berarti tidak akan ada pembuangan air yang tercemar nuklir yang dilakukan tanpa sepengetahuan pihak-pihak terkait.
Seorang pejabat dari Koperasi Perikanan Prefektur Miyagi mengatakan kepada awak media bahwa mereka akan terus menyuarakan penolakan, memastikan bahwa para nelayan tidak menderita kerugian sembari dengan tegas menyatakan apa yang diperlukan untuk mempertahankan mata pencarian mereka.
Faktanya, rencana pemerintah untuk membuang air yang tercemar ke laut tersebut telah ditentang oleh kelompok-kelompok sipil di Jepang sejak diluncurkan pada April 2021.
Pada September lalu, sebuah petisi bersama dari 42.000 orang yang menolak rencana pembuangan itu dan menuntut cara lain untuk menangani air yang terkontaminasi diajukan ke TEPCO dan Kementerian Perekonomian, Perdagangan, dan Perindustrian Jepang oleh perwakilan dari perhimpunan koperasi mata pencarian di prefektur Iwate, Miyagi, dan Fukushima serta asosiasi perikanan Miyagi.
Sekitar 51 persen responden ‘menolak’ dan ‘relatif menolak’ gagasan tentang pembuangan air limbah yang telah disaring ke laut setelah diencerkan sesuai standar nasional, menurut survei yang dilakukan oleh lembaga penyiaran publik Jepang NHK pada akhir 2020.
Sebuah survei yang dipublikasikan oleh Asahi Shimbun pada awal 2021 menunjukkan bahwa 55 persen responden menolak pembuangan air yang terkontaminasi nuklir ke laut setelah pengolahan.
Laporan: Redaksi