Banner

Feature – Nelayan Gaza berjuang untuk bertahan hidup di tengah kelaparan dan blokade

Nelayan Palestina terlihat di pelabuhan Gaza di Gaza City pada 20 April 2025. (Xinhua/Rizek Abdeljawad)

Pembatasan ketat dari Israel terhadap akses ke perairan untuk menangkap ikan di Gaza, membuat nelayan setempat terus-menerus menghadapi ancaman ditembak, dilecehkan, atau ditangkap jika mereka keluar dari batas yang ditetapkan.

 

Gaza, Palestina (Xinhua/Indonesia Window) – Setiap pagi, jauh sebelum matahari menyingsing di cakrawala, Salim Abu Rayala, seorang nelayan Palestina dari kamp pengungsi Al-Shati di sebelah barat Gaza City, melepaskan ikatan perahunya, sebuah perahu kayu yang telah lapuk akibat cuaca. Dia lalu mendorong perahu itu menuju perairan Mediterania.

Abu Rayala hafal betul sifat dualisme laut. Di satu sisi, laut dapat memberikannya hasil tangkapan yang baik, sedangkan di sisi lain, laut dapat merenggut nyawanya. Namun, ayah delapan anak itu tidak mempunyai pilihan lain. “Saya harus berjuang untuk keluarga saya,” ujarnya.

Di usianya yang kini menginjak 55 tahun, Abu Rayala menghabiskan lebih dari tiga dekade untuk menangkap ikan sarden, belanak, dan ikan kerisi di sepanjang pesisir pantai Gaza. Namun, sejak pecahnya konflik Israel-Hamas di Jalur Gaza pada Oktober 2023, lautan berubah menjadi tempat yang penuh bahaya, keputusasaan, dan harapan yang kian susut.

“Saya tetap melaut setiap hari, meskipun terkadang tidak mendapatkan apa-apa,” kata Abu Rayala. “Beberapa hari, saya berlayar cukup jauh untuk menebar jala, namun harus kembali dengan tangan hampa. Saya mempertaruhkan nyawa saya untuk hal yang sia-sia, tetapi pilihan apa yang saya miliki?”

Banner
pembatasan ketat dari Israel
Seorang nelayan Palestina terlihat menebar jaring di pantai di Kota Khan Younis, Jalur Gaza selatan, pada 22 Oktober 2024. (Xinhua/Rizek Abdeljawad)

Dengan pembatasan ketat dari Israel terhadap akses ke perairan untuk menangkap ikan di Gaza, nelayan setempat terus-menerus menghadapi ancaman ditembak, dilecehkan, atau ditangkap jika mereka keluar dari batas yang ditetapkan.

“Terkadang, mereka (tentara Israel) menembak ke udara. Di lain waktu, mereka menargetkan mesin perahu,” kenang Abu Rayala. “Saya sudah pernah melihat teman-teman saya terluka dan perahu mereka hancur. Namun, kami tetap bertahan, kami punya keluarga yang harus dinafkahi.”

Karena serangan Israel terus berlanjut, industri perikanan kini berada di ambang kehancuran total, menghadapi berbagai kendala, seperti kelangkaan bahan bakar dan kurangnya suku cadang.

Dulu, saya biasa membawa pulang ikan untuk makan malam. Sekarang, saya menjual apa pun hasil tangkapan saya demi membeli beras, minyak, dan sayuran. Ini bukan lagi soal memberi makanan bergizi bagi keluarga saya, melainkan soal bertahan hidup,” tutur Abu Rayala.

Setiap kilogram ikan dijual seharga 30 dolar AS. “Harganya jauh lebih tinggi dibandingkan dengan harga sebelum perang, tetapi saya tetap tidak bisa menghasilkan nafkah,” keluh Abu Rayala.

*1 dolar AS = 16.862 rupiah

Banner
pembatasan ketat dari Israel
Seorang pedagang Palestina menjual ikan di sebuah pasar di Gaza City pada 2 Februari 2025. (Xinhua/Rizek Abdeljawad)

Di seluruh wilayah pesisir Gaza, pemandangan serupa terjadi setiap hari. Ribuan nelayan mengungsi atau bahkan terpaksa melepas profesi mereka. Banyak dari mereka yang beralih ke mata pencaharian lain, bahkan menukar alat menangkap ikan mereka dengan gerobak dorong atau mengumpulkan kayu bakar dari gedung-gedung yang dibom.

Seorang nelayan Palestina terlihat di pelabuhan Gaza di Gaza City pada 20 April 2025. (Xinhua/Rizek Abdeljawad)

Ahed Baker, seorang nelayan lain di kamp pengungsi Al-Shati, terlihat sedang menambal jaring. Perahu kecilnya sudah tidak melaut selama lima pekan. “Bahan bakar terlalu mahal, dan saya bahkan tidak punya umpan,” katanya kepada Xinhua.

“Dahulu, laut adalah sumber penghidupan kami. Namun kini, laut sudah diblokir, rusak, dan penuh dengan bahaya,” tuturnya. “Tidak ada lagi yang tersisa bagi kami. Tanah kering. Langit menghujani kami dengan bom. Dan meskipun laut kosong, laut tetap menjadi satu-satunya tempat yang benar-benar saya ketahui untuk saya arungi.”

Laporan: Redaksi

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Banner

Iklan