Kajian Ilmiah – Pencari nafkah harus yakin kepada Allah ﷻ sebelum mulai bekerja

Para pencari nafkah harus ingat bahwa rezeki berada di ‘tangan’ Allah ﷻ, sehingga tak perlu khawatir akan berkurang atau habis.

 

Bogor, Jawa Barat (Indonesia Window) – Para pencari nafkah seperti pedagang, karwayan dan pengusaha harus memiliki prinsip-prinsip atau etika, termasuk yakin kepada Allah ﷻ (subhanahu wa ta’ala), sebelum mulai bekerja.

“Yakin kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan berilmu adalah di antara prinsip-prinsip sebelum para pedagang, karyawan dan pengusaha mulai mencari nafkah,” kata Ustadz Abu Zaidan Fillah Lc, dalam kajian ilmiah ‘Etika Mencari Nafkah Agar Tidak Terpapar Fitnah Harta’ yang digelar oleh Komunitas Pengusaha Muslim Indonesia (KPMI) di Masjid Al-Ghozy, Bogor, Ahad (18/2).

Para pencari nafkah harus meyakini bahwa Allah ﷻ yang memberi rezeki. Hal ini harus ditanamkan dalam hati dan pikiran agar tidak terjatuh ke dalam ke-syirikan, ujar Ust. Abu Zaidan.

Rezeki dalam bentuk harta adalah karunia terbaik dari Allah ﷻ bila dikendalikan dan diatur oleh orang sholih, tegasnya, seraya menambahhkan bahwa harta tersebut pastinya akan dikelola dan digunakan untuk kebaikan, seperti bersedekah, berkurban, atau menunaukan haji dan umroh.

Nabi Muhammad ﷺ (shallallahu ‘alaihi wa sallam) mengatakan: “Sebaik-baiknya harta adalah yang dimiliki oleh orang sholih,” yakni mereka yang aqidahnya baik, yaitu paham sekali bagaimana mengolah harta yang dimilikinya.

“Harta yang dimilikinya tidak terlalu dipikirkan dan hanya sampai ditangannya saja, tidak masuk ke dalam hatinya,” katanya, seraya menambahkan, ini adalah konsep harta yang diyakini oleh orang sholih, yakni orang yang beriman kepada Allah ﷻ tatkala dia memegang harta.

“Jangan kemudian tatkala diberikan harta oleh Allah ﷻ jadi kepikiran dalam sholatnya dan tidak khusyuk. Orang yang beriman itu pandai menempatkan hartanya dan tidak menempatkannya dalam hati,” kata ustadz.

“Orang sholih membelanjakan hartanya di jalan Allah ﷻ dan tidak menumpuk harta dan tidak pelit,” tambahnya.

“Allah ﷻ menyebutkan harta itu adalah fadlullah atau karunia dari-Nya, namun di sisi lain atau pada waktu yang bersamaan Allah ﷻ mengingatkan kita untuk waspada dan hati-hati terhadap harta, karena tidak sedikit orang yang bisa selamat dari fitnah harta. Fitnah ini ujian,” ungkap ustadz.

Lebih lanjut dia menjelaskan, Nabi ﷻ menegaskan: “Sesungguhnya setiap ummat itu memiliki ujian, dan ujian ummatku adalah harta.”

Al Imam Mabruri rahimahullah ta’ala menyatakan, maksud dari sabda Nabi tersebut adalah harta punya “kesesatan” dan “kemaksiataan” masing-masing dan ummat ini diberi ujian oleh Allah ﷻ dengan harta, jelas ustadz.

“Maksudnya harta itu bisa menyebabkan kita menjadi lalai, kita tidak lagi fokus beribadah, dan tidak fokus saat membaca Al-Quran karena memikirkan harta saja dan akhirnya menggadaikan semua ibadah untuk mendapatkan harta hingga lupa akan urusan akhirat,” katanya.

Dalam surat Al-Fajr, ayat 20, disebutkan, “Dan kamu mencintai harta benda secara berlebihan”. Ditambahkan oleh Nabi ﷺ: “Seandainya manusia diberi satu lembah penuh dengan  emas, dia tentu ingin lagi yang kedua. Jika dia diberi yang kedua, dia ingin lagi yang ketiga.”

Menurut ustadz, banyak orang yang gagal dalam menghadapi ujian harta. “Sedikit sekali mereka yang bersyukur kepada Allah ﷻ yang nikmatnya tak terhitung oleh ‘kalkulator’ manusia. Maka kata Allah ﷻ, orang-orang yang berkualitas dan yang bersyukur itu sedikit.”

Ustadz menerangkan, saat Allah ﷻ menguji manusia dengan harta, ini tidak saja ditujukan kepada orang kaya, melainkan juga kepada orang miskin. “Jadi ujian harta itu untuk semua manusia.”

“Tapi banyak orang mengira jika Allah ﷻ memberi harta yang banyak kepadanya, itu pertanda Allah ﷻ mencintai dia. Padahal sebaliknya, sebagian orang mengira jika Allah ﷻ mengurangi rezekinya, itu pertanda Allah ﷻ sedang menghinakannya,” ungkap ustadz.

Allah ﷺ memberi rezeki kepada orang yang dicintai-Nya dan yang tidak dicintai-Nya, jelas ustadz seraya memberi contoh bahwa Allah ﷻ memberikan harta yang melimpah kepada Nabi Sulaiman ‘alaihi salam dan Nabi Daud ‘alaihi salam. “Namun Allah ﷻ juga memberi harta yang melimpah kepada Qorun”.

“Nabi ﷺ adalah sosok yang sederhana, tidak kaya-kaya banget. Itu pilihan beliau untuk hidup sederhana. Para sahabat ada yang kaya dan ada yang miskin. Yang kaya antara lain Abu Bakar radhiallahu ‘anhu (R.A.), Umar R.A., Utsman R.A., Abdurrahman ibn Zubair R.A., Abdurrahman bin Auf R.A.,” ungkap ustadz.

Sementara itu, sahabat yang miskin antara lain Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu (R’A’), Abu Hurairah R’A’, Ashabus Suffah R’A’.

“Mereka tidak melirik kepada sahabat-sahabat yang kaya karena yang penting buat mereka adalah ketaqwaan dan ketaatan kepada Allah ﷻ dalam keadaan miskin maupun kaya,” katanya.

Kata Nabi ﷺ, jika seseorang sedang diuji dengan kemiskinan, dia akan bersabar kepada Allah ﷻ, dan ketika dia mendapat kenikmatan karunia dari-Nya, dia bersyukur, ujar ustadz.

Dia mengingatkan para pencari nafkah bahwa rezeki itu berada di tangan Allah ﷻ, sehingga tidak akan berkurang atau habis.

Ustadz mencontohkan riwayat ‘Aisyah radyallahu ‘anha (R.A.) sepeninggal Nabi ﷺ bahwa beliau yang mulia kerap kali mendapatkan hadiah satu karung gandum dan dipakai untuk kebutuhan sehari-hari. Jika ada orang yang datang ke rumahnya, beliau memberi sedekah gandum tersebut.

“Dan luar biasanya, gandum itu tidak habis-habis, padahal dipakai terus menerus oleh ‘Aisyah R.A. yang dermawan, yang lebih mementingkan orang lain sepeninggalan Nabi ﷺ,” ustadz mengisahkan.

Etika selanjutnya adalah bahwa para pencari nafkah harus bertaqwa kepada Allah ﷻ, kata Ust. Abu Zaidan, seraya menjelaskan, para pedagang yang jujur itu bersama nabi, orang yang sidiq dan para syuhada. Kejujuran ini datangnya dari ketaqwaan.

Kata Nabi ﷺ, dunia ini milik empat golongan, yaitu seseorang yang Allah berikan ilmu dan harta, lalu dia bertawa kepada Allah ﷻ, menyambung silaturahim, dan mengetahui hak-haknya Allah ﷻ.

“Orang-orang golongan ini adalah yang paling penting kedudukannya di sisi Allah ﷻ, karena menempatkan harta di tempat yang baik di jalan Allah ﷻ,” ujarnya.

Golongan yang kedua adalah orang yang diberi ilmu tetapi tidak diberi harta, kemudian orang itu berkata bila aku punya harta aku akan melakukan seperti amalan yang dilakukan oleh si fulan yaitu bersedekah, mengumrohkan orang lain, ingin punya halaqah Al-Qur’an dan tahfidzul Qur’an gratis. “Karena niat baiknya itu, dia dan orang yang pertama mendapat pahala yang sama,” kata ustadz.

Golongan yang ketiga adalah seseorang yang Allah ﷻ beri harta, tapi tidak diberikan ilmu. Orang ini akan menghabiskan harta tanpa ketaqwaan kepada Allah ﷻ.

Lebih lanjut ustadz menjelaskan golongan yang keempat adalah orang yang tidak memiliki harta dan ilmu, dan orang itu akan mengatakan, “Andai punya harta, aku akan melakukan amalan seperti yang dijalankan si fulan. Kalau punya harta, aku ingin bermaksiat seperti dia. “Karena niatnya buruk, keduanya sama-sama dalam kondisi berdosa. Dan orang seperti ini yang sangat parah,” ungkap ustadz.

Etika berikutnya adalah menjadikan nafkah sebagai sarana mencari akhirat. “Jangan terbebani dengan nafkah yang kalian berikan kepada istri dan anak-anak, karena Allah ﷻ yang memberi rezeki. Tugas kalian adalah mencari nafkah yang halal, dan bertaqwalah kepada Allah ﷻ,” tekan ustadz.

Selanjutnya, para pencari nafkah harus mengambil sebab walaupun kecil. “Ketika kita mencari nafkah jangan gengsi dengan sesuatu yang kecil. Berikhtiarlah walaupun itu sederhana. Ambil sebabnya dulu, kita kerja dulu sebelum Allah ﷻ memberi rezeki,” kata ustadz.

Teladan dalam berikhtiar ada dalam kisah Maryam R.A. yang sedang mengandung dan diperintahkan oleh Allah ﷻ untuk menggoyang pohon kurma agar buahnya yang masak jatuh.

“Menariknya di sini adalah bahwa menggoyang pohon kurma bagi seorang yang sedang hamil adalah perkara yang luar biasa susah dan hampir tidak mungkin membuat kurma itu jatuh,” tuturnya.

Namun Allah ﷻ perintahkan Maryam R.A. supaya mengambil sebab dan tidak banyak bertanya. “Masalah hasil, Allah ﷻ yang memberi.”

“Yang harus kita perhatikan adalah bahwa Allah ﷻ terkadang memberi rezeki yang datangnya bukan dari usaha kita, tapi dari keadaan lain,” ungkapnya, seraya memberi contoh lain tentang kisah Hajar R.A. bersama Nabi Ismail AS.

“Yang melakukan usaha kesana-kemari sampai tujuh kali (sa’i) adalah Hajar R.A. untuk mencari air dan tidak mendapatkannya. Hajar R.A. diperintahkan untuk berihtiar dulu, dan Allah ﷻ -lah yang memberi rezeki (air) dari arah yang tidak disangka-sangka, yaitu dari Nabi Ismail yang menjejak-jejakkan kakinya ke pasir dan keluarlah air.”

“Hal ini menunjukan bahwasanya kita hanya diminta untuk berikhtiar dulu, sebelum Allah ﷻ memberi rezeki kepada kita,” pungkas Ustadz Abu Zaidan.

Laporan: Redaksi