Jakarta (Indonesia Window) – KTT iklim PBB 2021 di Glasgow, Skotlandia dikecam sebagai kegagalan setelah India dan China melemahkan bahasa tentang penghapusan bahan bakar fosil dan menolak untuk menerima tanggung jawab atas kerusakan yang disebabkan oleh cuaca ekstrem.
Pada awalnya, para perunding pada pembicaraan iklim COP26 menginginkan penghentian subsidi batu bara dan bahan bakar fosil secara lebih cepat.
Mereka juga mendorong untuk mengakhiri penggunaan batu bara yang terus-menerus dan subsidi yang tidak efisien. Draf ketiga menyarankan percepatan upaya menuju “penghapusan bahan bakar fosil”.
Pada saat para diplomat membuat sebuah teks kesepakatan yang mereka semua bisa setujui, istilah tersebut diturunkan menjadi “pengurangan bertahap” penggunaan batu bara yang tidak berkurang.
Upaya menghentikan pemanasan global hingga 1,5 derajat Celsius, atau di atas suhu pra industry, adalah salah satu hasil yang paling sulit dari dua pekan negosiasi internasional yang bertujuan menyelamatkan bumi meluncur lebih dekat ke arah bencana perubahan iklim.
Namun, seperti banyak keputusan yang keluar dari KTT iklim, COP26 memanen banyak kecaman karena menghasilkan pernyataan yang lemah dan tidak efektif.
Para diplomat di COP26 sepakat pada Sabtu malam (13/11) waktu setempat untuk berbuat lebih banyak guna memerangi perubahan iklim dan membantu negara-negara yang rentan.
Bekerja sehari penuh setelah akhir konferensi yang dijadwalkan, para negosiator membuat kesepakatan untuk mengajukan rencana yang lebih baik tahun depan guna mengurangi emisi pada tahun 2030, menyelesaikan aturan tentang perdagangan emisi di pasar karbon, dan menjanjikan pengurangan yang lebih cepat dalam penggunaan batu bara dan subsidi bahan bakar fosil.
Namun dokumen terakhir menghindari pertanyaan tidak nyaman tentang siapa yang harus membayar dan berapa banyak.
Para pegiat dan analis mengecam Pakta Iklim Glasgow karena gagal membuat para pencemar kaya membayar ganti rugi atas kerugian dan kerusakan yang disebabkan oleh peristiwa cuaca ekstrem yang dipicu oleh perubahan iklim.
Negara-negara kaya sekarang berencana untuk membayar yang lebih kepada si miskin senilai 100 miliar dolar AS per tahun untuk menghijaukan ekonomi mereka dan beradaptasi dengan dampak perubahan iklim pada tahun 2023, meskipun telah berjanji dan gagal melakukannya pada tahun 2020.
Dengan studi internasional menunjukkan biaya perubahan iklim yang masuk ke angka triliunan, jumlah uang tidak cukup untuk menutupi biaya transisi dan termasuk pinjaman yang berbunga.
Sumber: dw.com
Laporan: Redaksi