China adalah sumber barang impor terbesar Inggris pada tahun 2021, menyumbang 13 persen dari total barang.
Jakarta (Indonesia Window) – Para pebisnis Inggris memutuskan hubungan dengan China karena kekhawatiran tentang ketegangan politik. Hal ini menjadi suatu pergeseran yang kemungkinan akan memicu tekanan inflasi, kata Kepala Konfederasi Industri Inggris (CBI) dalam sebuah wawancara yang diterbitkan pada Sabtu (30/7).
“Setiap perusahaan yang saya ajak bicara saat ini memikirkan kembali rantai pasokan mereka … karena mereka mengantisipasi bahwa politisi kita pasti akan mempercepat langkah menuju dunia yang terpisah dari China,” kata Direktur Jenderal CBI Tony Danker seperti dikutip surat kabar Financial Times.
China adalah sumber barang impor terbesar Inggris pada tahun 2021, menyumbang 13 persen dari total barang. Di sini lain, China juga merupakan tujuan ekspor barang terbesar keenam Inggris, menurut statistik perdagangan resmi Inggris.
Namun, kekhawatiran keamanan telah meningkat dalam beberapa tahun terakhir, didorong oleh ketidaksepakatan antara Inggris dan China mengenai Hong Kong dan masalah lainnya.
Pekan lalu, kepala dinas intelijen luar negeri Inggris, Richard Moore, mengatakan China sekarang menjadi prioritas utamanya, melebihi isu kontra-terorisme.
Inggris juga semakin memblokir pengambilalihan perusahaan oleh China dengan alasan keamanan nasional.
Kedua kandidat yang tersisa dalam kontes kepemimpinan Partai Konservatif – Menteri Luar Negeri Liz Truss dan mantan menteri keuangan Rishi Sunak – telah mengatakan mereka berniat untuk mengambil sikap yang lebih keras terhadap China.
Direktur Jenderal CBI Tony Danker mengatakan, meningkatnya kekhawatiran AS tentang China juga telah membuat perusahaan Inggris lebih waspada dalam menggantungkan sumber pemasok pada China, namun beralih ke tempat lain akan membuat biaya menjadi “lebih mahal dan dengan demikian menyebabkan inflasi”.
“Tidak perlu jenius untuk berpikir barang murah dan barang murah mungkin sudah ketinggalan zaman,” tambahnya.
Inflasi Inggris mencapai level tertinggi selama 40 tahun sebesar 9,4 persen bulan lalu, sebagian karena lonjakan harga energi yang disebabkan oleh invasi Rusia ke Ukraina.
Sumber: Reuters
Laporan: Redaksi