Beberapa tahun terakhir Pemerintah Indonesia gencar melaksanakan program Gerakan Literasi Sekolah (GLS). Program ini dilatarbelakangi hasil Program International Student Assessment (PISA) Indonesia yang berada pada peringkat bawah.
PISA merupakan tes untuk mengukur tingkat kemampuan literasi pelajar yang diikuti berbagai negara di dunia.
GLS telah berjalan beberapa tahun. Awalnya, setelah GLS digencarkan hasil PISA pelajar Indonesia cukup mengembirakan. Peringkat Indonesia mengalami kenaikan.
Namun, pada tahun 2018 peringkat Indonesia kembali turun. Kemampuan literasi pelajar di Tanah Air dalam bidang membaca berada pada peringkat 72 dari 77 negara partisipasi.
Patut menjadi pertanyaan mengapa hasil PISA menurun padahal berbagai kampanye tentang literasi gencar dilakukan. Mengapa program-program yang ada belum mampu meningkatkan kemampuan literasi pelajar di Indonesia?
Kampanye
Ternyata, GLS baru pada tataran mengkampanyekan kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan literasi. Semacam glorifikasi literasi.
Pihak yang dilibatkan sebagian besar para penulis buku dan guru, sementara keluarga pelajar dan masyarakat umum belum terintegrasi dengan kampanye GLS ini.
GLS diharapkan tidak hanya menyasar guru sebagai pedidik melalui berbagai pendidikan dan pelatihan kepenulisan dan program penerbitan buku, namun juga menyasar siswa secara keseluruhan.
Kalau selama ini melalui dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah) sekolah sukses dalam menyediakan buku-buku paket atau buku teks pelajaran untuk dipinjamkan kepada para siswa, di masa mendatang mereka seharusnya juga bisa memiliki buku-buku ilmiah populer atau buku-buku sastra.
Penulis menemukan, tidak banyak pelajar tingkat SMP, baik mereka yang tinggal di pedesaan maupun di pinggiran kota, yang memiliki buku. Itu pun buku teks pelajaran atau buku agama. Sementara buku ilmiah populer atau buku sastra masih sangat jarang ditemukan di rumah mereka.
Selain buku teks pelajaran, buku ilmiah populer dan sastra sangat penting dimiliki pelajar. Setiap anak usia pelajar sepatutnya memiliki buku-buku ini.
Buku ilmiah populer berisi ilmu pengetahuan umum terkait keterampilan hidup. Buku jenis ini mengajarkan tentang beragam wawasan, misalnya cara mengenali diri sediri, masyarakat, lingkungan sekitar, dan alam semesta. Buku ilmiah populer juga dapat menjadi sumber pengetahuan tentang cara paling efektif menggunakan berbagai alat rumah tangga, bertukang, bertani, berternak, atau memasak.
Selain buku ilmiah populer, buku sastra juga penting untuk dimiliki dan dibaca pelajar. Di negara-negara maju seperti Inggris, pelajar wajib menamatkan buku sastra klasik dengan jumlah yang berbeda di setiap level pendidikan.
Sastra
Sayangnya, sebagian besar masyarakat Indonesia, khususnya para orangtua masih menganggap buku-buku sastra sebagai buku yang berisi khayalan saja.
Menurut mereka membaca buku karya sastra tidak mengandung manfaat apa-apa, sehingga buku sastra kurang mendapat penghargaan di tengah masyarakat.
Pandangan seperti ini akhirnya melahirkan generasi yang hanya menganggap enteng karya sastra. Buku-buku yang mereka hasilkan yang bergenre atau diklaim sebagai karya sastra akhirnya juga kebanyakan berisi hal-hal remeh yang sifatnya sekadar menghibur.
Tengoklah Republik Rakyat China yang saat ini mulai mendominasi dunia dalam berbagai kebijakan politik, invansi ekonomi, dan inovasi teknologi. Lihatlah karya-karya sastra yang mereka hasilkan.
Buku-buku terjemahan dari karya penulis China mendominasi berbagai situs jejaring penerbitan buku-buku daring.
Buku-buku tersebut ditulis dengan serius, hingga tidak hanya mencapai puluhan atau ratusan bab, namun sampai ribuan bab.
Dalam buku-buku mereka berbagai tokoh fenomenal dimunculkan dengan karakteristik pantang menyerah, berani, ahli strategi, yang digambarkan punya banyak pencapaian puncak. Tokoh-tokoh ini juga menjadi yang terbaik dalam bidang yang digeluti, dan tidak sekadar menjadi pemimpin, atau membentuk peradaban. Beberapa tokoh dalam buku-buku tersebut, bahkan berproses menciptakan dunia.
Sementara tak jauh dari negeri tirai bamboo itu, bahkan buku sejarah yang menceritakan sosok Al Fatih yang menaklukkan Konstantinopel (kini Istanbul di Turki), dilarang bagi para pelajar.
Padahal buku sastra yang merupakan bagian dari teks narasi memiliki karakteristik yang unik, yang tidak dimiliki jenis buku lain.
Karya sastra dapat membuat pembaca seolah-olah mengalami kejadian-kejadian yang diceritakan dalam buku yang sedang dibaca. Cerita tentang kepahlawanan akan memberikan pengalaman kepada pembaca bagaimana berproses dan berkorban menjadi seorang pahlawan.
Berbagai cerita tentang perjuangan seorang yatim, seorang yang lemah, seorang yang miskin, dan sosok-sosok yang menginspirasi akan menumbuhkan sensitifitas, empati, dan kebijaksanaan pada pembaca.
Karenanya, karya sastra dapat berperan kuat dalam membentuk karakter dan moral yang baik pada pelajar. Tentu saja dengan sebelumnya terlebih dulu menyeleksi dan memilih karya sastra yang bermutu untuk menjadi referensi bacaan wajib siswa.
Mengingat sangat penting bagi pelajar untuk membaca buku karya ilmiah populer dan buku karya sastra bermutu, sepatutnya Pemerintah Indonesia memiliki upaya yang serius agar buku-buku tersebut dapat dimiliki pelajar.
Selama pandemik ini pemerintah mampu menyubsidi kuota internet bagi para pendidik dan pelajar. Mestinya, menyubsidi satu buku ilmiah populer dan satu buku sastra untuk setiap pelajar per tahun tentu bukanlah hal yang mustahil. Ini demi meningkatkan minat dan kemampuan literasi mereka.
Penulis: Rismiyana (Praktisi pendidikan; tinggal di Kalimanatan Selatan)