Jakarta (Indonesia Window) – Seorang siswi sekolah menengah atas ternama di sebuah kota besar di Jawa Barat merasa terpukul dan sangat kecewa setelah mengikuti Penilaian Tengah Semester (PTS) beberapa waktu lalu.
Pasalnya, dengan mata kepalanya sendiri, dia melihat hampir seluruh kawan-kawan sekelasnya berbuat curang dengan berbagai cara agar dapat mengerjakan soal ujian mata pelajaran sosiologi yang umumnya menuntut kemampuan siswa dalam menghafal, selain tentunya pemahaman tentang suatu topik.
Dia mengungkapkan, praktik menyontek yang dilakukan teman-teman di kelasnya bervariasi, mulai dari googling menggunakan ponsel, membuka buku catatan dan buku teks, hingga saling ‘bertukar informasi’.
“Semua berbuat curang,” geram gadis berusia 14 tahun ini, seraya menegaskan bahwa ketika dia melihat aksi menyontek itu terjadi, dirinya serasa ingin berteriak, memprotes ketakbenaran yang dengan telak menghantam kejujuran yang dibangunnya susah payah dengan belajar hingga suntuk.
Namun, anak ini hanya bisa diam, karena “ngga mungkin aku bikin kegaduhan di tengah-tengah kelas saat itu, dengan mengadukan teman-temanku sendiri ke guru pengawas,” tuturnya dengan suara lirih.
Soal-soal ujian itu sebenarnya mudah bagi dirinya yang telah menguras tenaga selama – setidaknya – sepekan sebelum ujian berlangsung. “Tapi konsentrasiku terusik melihat teman-teman cheating,” ujarnya.
Peristiwa tersebut ternyata sangat berdampak pada diri remaja ini. Selain terkejut dengan perilaku kawan-kawannya yang disebutnya ‘tak berintegritas’ tersebut, gadis belia ini merasa dikhianati, dan ditinggalkan sendiri. Ini tidak hanya karena dirinya satu-satunya yang tak ‘bergerilya’ mencari bocoran soal ujian dari kelas lain, tetapi juga hanya dia satu-satunya yang mempertahankan integritas dalam kapasitasnya sebagai seorang murid.
PTS tersebut merupakan sesi ujian pertamanya sejak menjadi siswi di salah satu sekolah ‘favorit’ di kota itu.
Namun, kepercayaan dan keyakinan dirinya akan hal-hal positif yang diharapkan akan dilihat dan dialaminya saat masuk gerbang sekolah terkenal itu telah dicampakkan oleh aksi kawan-kawannya yang harusnya berjuang bersama-sama dalam meraup ilmu.
Kemarahan dan kekecewaanya bertambah-tambah ketika tahu bahwa guru yang seharusnya ‘digugu dan ditiru’ – artinya dijadikan panutan dan role model – ternyata membiarkan begitu saja aksi menyontek itu berlangsung, bahkan kelihatan ‘mendukung’ dengan keluar dari ruang kelas sehingga para murid leluasa melakukan perbuatan tersebut.
Lantas, benaknya yang naif mulai berkecamuk. Selama ini dia pikir bahwa status sekolahnya yang disebut ‘teladan’, ‘favorit’, dan ‘berprestasi’, segaris lurus dengan integritas para siswa dan gurunya.
Bagi dirinya, sekolah teladan bukan semata-mata yang memasang passing grade tinggi untuk syarat pendaftaran jadi siswa baru dan menang banyak trofi. Menurut bocah ini, sekolah teladan juga berarti punya siswa-siswa yang berkompetisi secara square and fair dengan menjunjung tinggi kejujuran, serta menghargai kemampuan dan hasil keringat sendiri. “Karena percuma aja dapat nilai 100, tapi sebagiannya didapat dari hasil menyontek. Berarti kan, sesungguhnya nilainya ngga 100,” gadis ini berargumen.
“Jangan-jangan selama ini nilai sekolah ini hasil dari keculasan siswa-siswanya,” ucapnya sinis.
“Reputasi dan nama baik sekolah ternyata berselaput kecurangan. Juga nilai tinggi yang didapat siswa-siswa yang dianggap paling hebat, sangat mungkin bukan asli hasil kerja keras mereka,” imbuhnya dengan nada kecewa.
Korupsi bersemai
Saat mengingat-ingat kembali aksi menyontek kawan-kawannya, dia mulai merasa ngeri.
“Bisa jadi menyontek ini jadi kebiasaan sampai kuliah,” ujarnya lirih, seraya bergumam, “lalu berlanjut hingga lulus kuliah, waktu mau cari kerja atau pas kuliah lagi.”
Dia bergidik, lalu berujar, “Berarti ngga ada beda antara penyontek dan koruptor dong … Mereka sama-sama ngga jujur.”
Pikiran bocah SMA ini tidak berlebihan. Korupsi yang berasal dari kata dasar corrupt diartikan having or showing a willingness to act dishonestly in return for money or personal gain, diterjemahkan menjadi memiliki atau menunjukkan kesediaan untuk bertindak tidak jujur dengan imbalan uang atau keuntungan pribadi.
Menyontek dan korupsi beririsan dalam hal ketidakjujuran. Harta koruptor berasal dari perilaku yang tak beradab oleh orang yang tak berintegritas, demikian juga nilai sekolah atau prestasi tinggi dari para penyontek.
Masyarakat pun harusnya juga merasa seram, sebab masa depan bangsa besar ini dipastikan suram dengan tersemainya bibit-bibit ketidakjujuran yang dimulai sejak dini, bahkan di bangku sekolah, lembaga yang harusnya melahirkan kaum cerdik pandai.
Di sisi lain, korupsi dan menyontek sama-sama terkelompok ke dalam kejahatan luar biasa karena berdampak besar pada pembangunan bangsa, bahkan bisa menghancurkan kualitas pendidikan sembari meremukkan sendi-sendi peradaban bangsa dengan lahirnya generasi yang immoral (tahu kesalahan, namun ogah berhenti berbuat salah).
Menyontek adalah tindakan curang yang sepadu dengan kebohongan dan penyelewengan. Seperti kejahatan lainnya yang membuat pelakunya ketagihan untuk mengulang-ulang suatu perbuatan buruk – apalagi jika tidak ketahuan dan dari sini bisa menciduk banyak keuntungan – begitu pula dengan menyontek yang akan terus diparaktikkan, dan sulit sekali dilepaskan.
Berat sangat membayangkan negeri ini di masa lima hingga sepuluh tahun mendatang, saat anak-anak sekolah yang sedari kini sudah tak malu dan segan menyontek, lalu mengisi jabatan-jabatan di pemerintahan dan pengadilan, atau bekerja di sektor-sektor pengelolaan keuangan dan layanan publik lainnya, seperti pendidikan.
Oh negeriku …
Penulis: Pramadhanti (pengamat sosial)