Mikroplastik ditemukan dalam sampel tinja satwa liar yang dilindungi di Taiwan

Ilustrasi. Seekor burung memakan sampah plastik yang ditemukannya di tepi pantai. (Tim Mossholder on Unsplash)

Para peneliti menemukan mikroplastik di semua sampel tinja yang dikumpulkan dari martens (musang) leher kuning, dan juga konsentrasi mikroplastik tertinggi dalam kotoran hewan dibandingkan dengan yang lain.

 

Jakarta (Indonesia Window) – Jaringan kampanye global independen, Greenpeace, pada Selasa (23/8) mendesak pemerintah, bisnis, dan individu di Taiwan untuk mengurangi konsumsi produk plastik sekali pakai setelah menemukan mikroplastik dalam kotoran dan di habitat semua satwa liar yang dilindungi yang disurvei di pulau itu.

Kelompok lingkungan tersebut merilis survei polusi plastik yang melibatkan enam spesies satwa liar yang dilindungi pada konferensi pers di Taipei.

Direktur proyek Greenpeace Tang An mengatakan bahwa selama setahun terakhir, para peneliti mengumpulkan sampel tinja dari satwa liar di delapan lokasi di seluruh Taiwan.

Sebanyak 112 sampel tinja dikumpulkan dari beruang hitam Formosa, rusa sambar Formosa, martens (musang) leher kuning, macan tutul, salmon terkurung daratan Formosa, dan berang-berang Eurasia yang endemik di daerah terpencil Kinmen, kata Greenpeace.

Selain itu, para peneliti yang mengikuti survei juga mengumpulkan 60 liter air dan 32 sampel serangga di habitat enam spesies hewan dan ikan yang dilindungi, terang Tang An.

Para peneliti menemukan mikroplastik di semua sampel tinja yang dikumpulkan dari martens leher kuning, dan juga konsentrasi mikroplastik tertinggi dalam kotoran hewan dibandingkan dengan yang lain, kata Greenpeace.

Data dari survei Greenpeace 2021-2022 menunjukkan bahwa konsentrasi mikroplastik tertinggi ditemukan pada sampel feses martens leher kuning, mencapai 18,65 partikel mikroplastik per gram, diikuti oleh 2,72 pada spesimen dari berang-berang Eurasia, 1,64 dari macan tutul, 1,13 dari beruang hitam Formosa, dan 0,09 dari rusa sambar Formosa.

Mikroplastik dalam tubuh hewan
Ilustrasi. Data dari survei Greenpeace 2021-2022 menunjukkan bahwa konsentrasi mikroplastik tertinggi ditemukan pada sampel feses martens (musang) leher kuning, mencapai 18,65 partikel mikroplastik per gram. (Dieter from Pixabay)

Mikroplastik juga ditemukan dalam sampel air dan sampel serangga air yang dikumpulkan dari sungai-sungai di mana salmon terkurung daratan Formosa yang terancam punah hidup, kata Greenpeace, seraya mencatat bahwa total 1.323 partikel mikroplastik (masing-masing berukuran antara 10,0 mikrometer dan 1.333,3 mm) ditemukan di 60 liter sampel air yang dikumpulkan dari habitat spesies satwa liar yang dilindungi.

Secara umum, komponen utama dari mikroplastik ini adalah polietilen (PE) dan polipropilen (PP), yang keduanya banyak digunakan dalam produksi wadah makanan dan minuman serta pengemasan di Taiwan, kata Greenpeace.

“Kami juga menemukan tingkat polusi plastik sangat terkait dengan frekuensi aktivitas manusia di sekitarnya,” kata Greenpeace.

Greenpeace melakukan survei lapangan bekerja sama dengan 14 kelompok penelitian.

Tim yang dipimpin oleh Ho Chuan-wen, asisten profesor dalam ilmu alam di Universitas Nasional Chung Hsing, Alexander Kunz dari Academia Sinica, dan Greenpeace tersebut bersama-sama melaksanakan identifikasi mikroplastik dalam spesimen dan sampel yang dikumpulkan, kata Greenpeace.

Chiang Po-jen dari Formosan Wild Sound Conservation Science Center Co. yang berbasis di County Miaoli, mengatakan pada jumpa pers Selasa (23/8) bahwa mikroplastik dapat dibawa oleh hujan dan arus atmosfer dari satu tempat ke tempat lain, yang berarti polusi semacam itu masih dapat terjadi di daerah yang sangat terpencil.

Mikroplastik dapat mengurangi reproduksi satwa liar, menyebabkan peradangan pada hati dan usus mereka, dan memperlambat pertumbuhan mereka, kata Chiang, seraya menekankan bahwa kelangsungan hidup satwa liar di “daftar merah” spesies terancam Taiwan telah sangat ditantang oleh kerusakan habitat, perburuan, dan pencemaran lingkungan.

Ho mengatakan, studi Greenpeace membuktikan adanya risiko terhadap satwa liar yang dilindungi yang terpapar mikroplastik di habitatnya, menambahkan bahwa lebih banyak penelitian lanjutan dan pekerjaan dalam pemantauan lingkungan harus dilakukan.

Ho juga menyarankan agar pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat di sekitar Taiwan ikut ambil bagian dalam upaya mengurangi konsumsi produk plastik sekali pakai.

Pada 1 Juli, Administrasi Perlindungan Lingkungan (EPA) tingkat Kabinet Taiwan memperkenalkan kebijakan yang mengharuskan sebagian besar pengecer yang menjual minuman yang dibawa pulang untuk menawarkan pengembalian uang setidaknya 5 dolar Taiwan (sekira 2.500 rupiah) kepada pelanggan yang membawa cangkir yang dapat digunakan kembali.

Langkah selanjutnya dalam mengurangi konsumsi plastik adalah secara bertahap menghapus sedotan, gelas, tas belanja, dan peralatan makan sekali pakai pada tahun 2030, tujuan yang ditetapkan pemerintah pada tahun 2018, kata pejabat EPA We Wen-yi.

Menurut statistik EPA, Taiwan telah menggunakan 2,5 miliar lebih sedikit kantong plastik sekali pakai setiap tahun sejak 2018, 100 juta lebih sedikit sedotan plastik sejak Juli 2019, dan 130 juta lebih sedikit unit peralatan makan plastik sekali pakai sejak Agustus 2019.

Sumber: CNA Taiwan

Laporan: Redaksi

Tinggalkan Komentar

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Iklan