Banner

Mengejar ilmu kedokteran hingga ke Swedia

Dokter Indonesia yang saat ini tinggal di Swedia. Dari kiri ke kanan (atas): Maltha Anastasha, Layung Sekar Sih Wikanthi, Gusti Adintya Putri, Abyan Rizaldi, dan Mirzania Mahya Fathia. Dari kiri ke kanan (bawah): Resthia Rachmantha Putri, Aulia Zahrina Qashri, Victoria Muliadi, Alicia Nevriana, dan Fauzan Arafat. (Bagas Hapsoro)

Swedia merupakan salah satu negara dengan tingkat kesejahteraan yang tinggi di dunia, dan secara aktif mendukung pengembangan teknologi ramah lingkungan.

Pada bulan September 2020 tingkat inovasi Swedia telah menyusul Amerika Serikat (AS), di posisi kedua setelah Swiss, menurut Global Innovation Index 2020.

Selain itu, Swedia juga menjadi tujuan studi favorit bagi sebagian pelajar Indonesia yang umumnya mengambil gelar master dan doktoral di negara Nordik ini.

Menurut, Gusti Adintya Putri, seorang mahasiswa kedokteran Indonesia ada sekitar ratusan mahasiswa Indonesia yang sedang menempuh pendidikan di kampus-kampus Swedia. Sebagian dari mereka tengah menempuh ilmu kedokteran di Karolinska Institute, Swedia.

Mahasiswa kedokteran tersebut menulis buku berjudul FIKA.

Adintya menulis buku tersebut bersama sembilan kawannya dari universitas kedokteran di Swedia.

Pilihan cerita yang ditulis sungguh mengharukan. Ada kisah perjuangan dan gairah yang menggebu-gebu dalam mewujudkan mimpi. Doa, semangat, konsistensi, pantang menyerah, dan tentang kebanggaan orangtua yang menjadi motivasi mereka dalam belajar.

‘FIKA: Refleksi Pengalaman Mahasiswa Kesehatan Indonesia di Swedia’ memuat banyak pesan perjuangan, refleksi diri, kritik sosial, kemanusiaan, bahkan informasi yang sangat kaya tentang Swedia.

Bagi Anda yang ingin mengetahui budaya dan tradisi Swedia, buku ini harus dibaca.

Kesan pertama yang Anda dapatkan ketika membaca tulisan di dalamnya adalah Anda akan diajak tertawa karena segala bentuk ekspresi tumpah di dalam tulisan mereka.

Ada yang bercerita tentang sulitnya melakukan etnografi sambil mengasuh bayi dan mengejar nara sumber penelitian.

Setelah beberapa pekan saya selesai membaca buku itu, ada hal lain yang membekas, selain transfer emosi dari penulis di dalamnya.

Hal lainnya adalah karakter dari perguruan tinggi tempat mereka belajar. Inilah kesan kuat yang saya temukan di antara semua penulis, yaitu semangat kerja keras dalam penelitian.

Tapi, mengapa ilmu kedokteran bagi kita penting?

Pertama, ayo kita menjelajahi pandemik COVID-19 yang masih jauh dari selesai.

Kedua, kita harus memahami bagaimana meningkatkan sistem kesehatan dan perawatan kesehatan di Indonesia. Ini sejalan dengan fungsi BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) saat ini.

Ketiga, sasyarakat Indonesia harus paham betul tentang semua penyakit tropis.

Saya telah membaca data Swedia tentang prevalensi diabetes di Indonesia serta survei terbaru terkait penggunaan ponsel cerdas dan telemedicine (layanan kesehatan jarak jauh) selama pandemik COVID-19 yang menekankan kebutuhan dan tren yang beralih ke pemanfaatan kesehatan digital dalam perawatan kesehatan.

Ada sejumlah ilmuwan asal Indonesia yang saat ini membantu Swedia dalam penanggulangan COVID-19, baik yang mengajar di universitas, bekerja laboratorium, maupun rumah sakit umum.

Beberapa di antaranya adalah Prof. Nawi Ng, guru besar Epidemiologi di Universitas Gothenburg.

Saya juga kenal Dr. Dhany Syahputra yang bekerja di Denmark, dan sekarang sedang melakukan penelitian di Indonesia tentang penyebaran COVID-19.

Selain itu ada dr. Winner Ng dan dr. Resthie Rachmanta, yang berdomisili di Stockholm.

Di Lund ada Dr. Sukma Dewi, MD, dokter dan peneliti di Rumah Sakit Universitas Lund, Lund; dan Eni Andersson yang bekerja sebagai Research Engineer, Scilifelab KTH, Solna.

Saya pernah berbincang dengan Made Sania, seorang pelajar Indonesia yang rajin menulis di blognya.

Mengapa dia menyarankan orang Indonesia untuk belajar ke Swedia? Alasannya sangat mengesankan.

Dia berkata, “Kuliah tanpa hierarki (informalitas). Di Swedia, dalam keseharian dan kehidupan profesional, siswa tidak perlu memanggil Pak/Bu untuk orang tua atau tokoh yang dihormati.”

“Pengalaman internasional. Ada akses yang sangat besar dan informasi yang terbuka sehingga membuka peluang bagi kami untuk dapat berpartisipasi dalam kompetisi dan konferensi internasional,” katanya, seraya menambahkan bahwa di Swedia setiap orang bebas untuk mengekspresikan diri dan penilaian dari masyarakat hampir tidak terlihat.

Menurut Made, mayoritas penduduk Swedia berbicara Bahasa Inggris. Banyak program master (mahasiswa pascasarjana) diajarkan dalam bahasa Inggris.

Ia juga mengatakan, pemerintah Swedia memberikan beasiswa penuh bagi mahasiswa dan peneliti internasional di bawah program Swedish Institute (SI).

Saya percaya bahwa semua orang sepakat tentang pentingnya investasi dalam pendidikan, dan sekolah dari luar negeri bisa menjadi panutan.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia merupakan lembaga yang tidak hanya memfasilitasi pendidikan tenaga kerja, tapi juga menciptakan lapangan kerja dan wirausaha.

Di Swedia ada pendidikan tinggi bernama Yrkeshögskolan (Pendidikan Kejuruan Tinggi). Program ini menjawab kebutuhan lapangan kerja dengan membangun hubungan antara industri dan tenaga kerja terampil.

Saya berharap buku-buku lainnya serupa FIKA akan menyusul, sehingga literasi di tanah air berkembang pesat.

Saya ucapkan terima kasih kepada tim penulis yang dipromosikan oleh dokter Mirzania Mahya Fathia bersama sembilan penulis lainnya.

Artikel ini saya tulis sambil menikmati Fika, kopi Aceh Gayo yang dipanggang oleh Johan dan Nystrom Coffee beserta kue favorit saya Kanelbullar, roti kayu manis khas Swedia.

Hmmm. Enaaak!

Penulis: Bagas Hapsoro [Mantan Duta Besar RI untuk Swedia dan Latvia (2016-2020)].

Tinggalkan Komentar

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Iklan