Opini – Dinamika multi dimensi atas program MBG
Sampai hari ini, dinamika multi dimensi atas Program Makan Bergizi Gratis (MBG) Presiden Prabowo Subianto tampaknya masih terus saja berlangsung.
Di fase awal, bukan saja banyak pihak yang mempertanyakan urgensi MBG, melainkan juga mengkontestasi manfaat ekonomi yang bisa dihasilkannya.
Ibarat musik, masyarakat umum dan akademisi tampaknya sama-sama sepakat untuk memilih perspektif bergenre ‘rock & roll’ dengan nada dasar minor.
Di satu sisi, semua itu adalah alamiah dan sah-sah saja. Namun di sisi lain, ada satu hal yang sulit dipahami, yaitu kenapa perspektif kaum akademisi tidak lebih komprehensif dari perspektif masyarakat secara umum, sama-sama masuk dalam kategori parsial dan beraroma masam. Bukankah sesungguhnya masyarakat luas malah membutuhkan pandangan yang lebih komprehensif dan solutif dari akademisi?
Beberapa bulan kemudian, fase berikutnya hadir dengan genre baru tentang balada ketidakadilan alokasi anggaran APBN. Masyarakat luas cenderung membangun lirik tentang kebutuhan infrastruktur dan fasilitas pendidikan, sedangkan akademisi menyusun lirik tentang kebutuhan dana penelitian.
Di satu sisi, apa yang disampaikan adalah sah-sah saja dan secara parsial dapat dikatakan benar. Namun, di sisi lain, semua seakan-akan lupa bahwa selama belasan tahun setelah reformasi negeri kita tidak pernah berhenti digerogoti jaringan koruptor yang memanipulatif atas proyek-proyek infrastruktur dan fasilitas pendidikan. Sedangkan tekait penelitian, sepertinya banyak pula yang lupa tentang hasil evaluasi atas Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
Semua itu perlu ditata dan diperbaiki, bukan?
Dengan kata lain, pada fase dua dapat dikatakan bahwa banyak yang lupa tentang pekerjaan rumah (PR) masa lalu yang sedang akan diperbaiki dan isu kecemburuan anggaran tampaknya juga tidak terkendali serta tak elegan sama sekali.
Pada fase ketiga. Alam berfikir dan alam rasa masyarakat sepertinya diisi oleh perspektif para ekonom yang mengkontestasi MBG dengan berbagai teori ekonomi makro, fiskal dan moneter.
Sesungguhnya, dinamikanya mulai menarik, karena ada buah fikir dan angka yang muncul dalam narasi-narasi yang ada.
Namun, tampaknya masyarakat luas tidak begitu bisa menikmatinya, sehingga diskursus tersebut berhenti dengan suatu ‘kesepahaman’ bersama bahwa manfaat berganda dari MBG adalah memang sangat besar, sedangkan pembanding dari sektor lain masih harus dinyatakan sebagai opsi eksperimental ekonomi.
Histeria melodrama
Pada fase keempat, diskusi tentang MBG melahirkan dinamika histeria melodrama.
Berbagai fakta empiris terkait ekses keracunan makanan menyebabkan banyak pihak sangat ekspresif melahirkan histeria melodrama.
Keluarga korban keracunan sangat bersedih atas apa yang dialami anaknya.
Masyarakat umum ada amarah dan meminta “bubarkan” MBG.
Para ahli sangat bersemangat menceritakan berbagai teori yang dikuasainya.
Akademisi lain tidak saja ramai-ramai bermurah hati untuk menuliskan berbagai sarannya, namun juga ada yang kembali kepada isu kecemburuan alokasi anggaran.
Semua adalah alamiah. Semua adalah sah-sah saja. Semua harus diterima dan didengar sebagi ‘feedback’ atas suatu program strategis yang baru dimulai.
Hingga di situ, maka pertanyaan berikutnya yang perlu kita jawab adalah bagaimana kita akan mengawal MBG menuju kesuksesannya secara optimum.
Yaitu, sukses membentuk perilaku makan sehat pada anak2 kita. Sukses membentuk kinerja kolaboratif berantai yang baik, benar, profesional dan bebas korupsi serta berkeadilan.
Sukses memberdayakan berbagai kearifan lokal. Sukses menumbuhkan usaha dan bisnis baru yang potensial untuk memberdayakan ekonomi lokal secara signifikan dan sistemik.
Serta semua kesuksesan lain untuk berpartisipasi dalam menyumbang pertumbuhan ekonomi nasional hingga lebih dari 8 persen seperti yang diangankan oleh presiden.
Pepatah mengatakan bahwa segala sesuatu itu tergantung ‘the man behind the gun’.
Kita tidak perlu mempertanyakan tentang bagaimana ceritanya seorang Dadan Hindayana, doktor dalam bidang seranggga bisa dipercaya presiden untuk menjadi pimpinan MBG, sekaligus juga tak perlu dipertanyakan kenapa pula belum apa-apa sudah mendapat bintang tanda jasa dari negara.
Berdasarkan informasi yang dikutip dari data Pendidikan tinggi (Dikti), Dadan Hindayana adalah seorang Dosen Program Studi Pascasarjana (S2) Entomologi atau ilmu yang mempelajari tentang jenis dan kehidupan serangga, di Departemen Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB).
Dadan lulus sebagai sarjana dari program studi Proteksi Tanaman IPB pada tahun 1990. Ia kemudian melanjutkan pendidikan di Universitas Bonn, Jerman, di bidang studi Entomologi Terapan dan lulus pada tahun 1997.
Setelah itu, pria kelahiran Garut Jawa Barat itu juga tercatat sempat mengenyam pendidikan di Leibniz Universitat Hannover, Jerman, dan lulus pada tahun 2000. Dadan menyelesaikan studi S3-nya di IPB.
Berdasarkan data yang dihimpun dari Science and Technology index (Sinta) Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), Dadan tercatat memiliki skor 643, di mana pada tahun 2024, jurnalnya telah disitasi sebanyak 13 kali.
Pada tahun 2023, Dadan memublikasikan empat jurnal, dan di tahun yang sama, hasil penelitiannya telah disitasi sebanyak 98 kali.
Salah satu penelitian yang dilakukan Dadan pada tahun 2017 telah diterbitkan dalam Jurnal Entomologi Indonesia pada tahun 2023 berjudul ‘Keanekaragaman dan peran fungsional serangga Ordo Cleopatra di area reklamasi pascatambang batu bara di Berau, Kalimantan Timur’.
Pada Senin (12/8) 2024, Dadan juga mengisi materi tentang pangan dan dan gizi nasional menuju Indonesia Emas tahun 2045 pada Pengenalan Kehidupan Kampus bagi Mahasiswa Baru (PKKMB) di Universitas Hasanuddin, Makassar, Sulawesi Selatan.
Pada presentasinya tersebut, ia menyoroti kerawanan pangan karena produksi pangan di dunia yang tidak seimbang.
Dadan juga menjabat sebagai Ketua di Sekolah Tinggi Pertanian dan Kewirausahaan (STPK) Banau, Kabupaten Halmahera Barat, Provinsi Maluku Utara.
Garis tangan manusia adalah rahasia Ilahi, dan tentunya presiden juga tidak sembarangan dalam mempercayakan suatu jabatan yang sangat stretegis, luar biasa besarya anggaran yang harus dikelola dan juga besar serta panjang dan kompleks rantai tugas pokok dan fungsi (tupoksi)-nya. Setidak-tidaknya, kita bisa pandang bhw Dr. Dadan Hindayana adalah masuk dalam kriteria Presiden sebagai individu yang jujur dan tahan banting untuk tugas yang sangat berat itu.
Selama kita merdeka, barangkali anggaran MBG adalah anggaran yg paling besar untuk suatu program strategis. Itu bukan hal mudah, itu tdk bisa dipercayakan kepada sembarang individu, bukan?
Bagi Dadan, hal itu adalah amanah yang sangat besar, dan bagi IPB, itu adalah penghargaan yang sangat besar, yakni bahwa ada akademisinya yang mendapatkan amanah yang begitu sangat besar dan lain sebagainya, termasuk bagi kita sebagai masyarakat luas itu adalah amanah berbangsa dan bernegara yang perlu kita pikul bersama.
Bangsa kita akan sangat malu pada bangsa lain jika kita gagal memikul tugas bersama tersebut.
Semua kepala daerah dan jajarannya. Semua emak-emak yang mulia dan harus dimuliakan setiap anak manusia dan semua masyarakat luas. Kita harus bersatu untuk memastikan bahwa MBG di areal kita harus berhasil.
Sungguh kita akan sangat malu kalau ada SPPG yang bermasalah di areal kita.
Kita harus berputih hati dan gotong royong dalam mengawal keberhasilan setiap SPPG di wilayah kita.
Meskipun di luaran sana banyak oknum dan pihak yang memandang MBG hanya sebagai jalan untuk mencari untung belaka, maka bagi kita hal itu tidak boleh terjadi.
MBG adalah wajah masyarakat kita. MBG adalah marwah masyarakat kita. Di manapun di dunia ini, orang biasanya ribut/bertengkar karena tidak dapat makan.
Kita akan sangat malu jika kita malah berebut dan bertengkar karena rezeki makanan untuk anak kita via MBG.
Sekali lagi, MBG adalah wajah kita. MBG adalah marwah kita. MBG bukan hanya sekadar Program Strategis, melainkan adalah wajah dan marwah bangsa kita.
Mari kita singsingkan lengan baju untuk membantu MBG menuju keberhasilan dalam segala hal.
Harus berbenah
Negeri kita sedang dan harus berbenah dalam banyak hal.
Di satu sisi, tekanan ekonomi sedang melanda sebagin besar populasi masyarakat. Ada kasus korupsi gila-gilaan yang harus diselesaikan. Ada fakta 6 juta penerima bansos yang masih harus ditelusuri dan disidik. Ada inefisiensi pada semua kementerian/lembaga (K/L) yang sudah jadi rahasia umum, yakni besarannya lebih dari 30 persen, dan lain-lain, yang atas semua itu semua tentu sepakat bahwa harus diperbaiki sampai tuntas.
Di sisi lain, masyarakat harus dibantu, yang tentunya tidak mungkin dilakukan lagi dengn pola bansos yang penuh penipuan dan korupsi. Lapangan kerja harus dibuka secara masif. Ekonomi harus didorong untuk terus berjalan dan menguat. Roda ekonomi harus dibuat masif di semua bagian geografis negeri dan seterusnya.
Bagaimana caranya?
Di antara semua opsi potensial, maka sesungguhnya – baragkali tidak terlalu susah untuk menjawab dan setuju – bahwa program MBG adalah salah satu pilihan jitu untuk mencapai semua itu secara bersamaan.
Melalui MBG, masyarakat kecil tetap terbantu, setidaknya setara 2 anak/kepala keluarga (KK) x Rp10 ribu/hari x 25 hari/bulan = sudah setara Rp500.000/KK/bulan. Nilai itu jauh lebih besar dari pola bansos selama ini bukan?
Sebesar Rp500.000/bulan/KK dalam bentuk program MBG yang tidak saja akan membentuk budaya baru dalam hal makan anak-anak kita, melainkan juga akan memotong rantai korupsi dan akan menciptakan lapangan kerja secara masif, damn seterusnya diharapkan bisa memutar roda ekonomi baru pada setiap bagian geografis negeri kita.
Atas hal itu, secara substansial kestrategisan MBG barangkali tidak perlu kita ragukan. Perihal ada nya ekses implementasi, maka marilah kita bantu agar bisa menjadi lebih baik sesegera mungkin.
Berikutnya, dalam perspektif eksistensi kelompok, baragkali Keluarga Besar IPB perlu bersyukur bahwa Dadan Hindayana merupakan anggota keluarga IPB yang sedang mendapat amanah APBN terbesar dalam sepanjang sejarah negara kita, yakni BGN menjadi instansi dengan Pagu Anggaran Terbesar di 2026, yakni mengelola 217,8 triliun rupiah.
Rasa syukur itu, pPerlu kita wujudkan dalam bnyak hal, baik dalam memberikan pandangan-pandangan konstruktif, maupun dalam menjaga Dadan Hindayana agar tidak ‘oleng’ dan/atau ‘ditumbangkan’ orang/kelompok lain yang pasti ngiler dengan jabatan yang luar biasa tsb.
Sebagai manusia biasa, tentu Dadan pasti punya kekurangan, khilaf atau bahkan mungkin kesalahan, tapi kita semua akan sangat salah lagi kalau kita tidak mau mendukung atau gagal menjaga anggota keluarga kita sendiri.
Bismillah. Insya Allah kita akan bisa.
Selesai
Penulis: Prof. Dr. Ir. Ricky Avenzora, M.Sc.F.Trop [Guru Besar IPB University. Saat ini menjabat Kepala Divisi Rekreasi Alam Dan Ekowisata (Divisi RAE) Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB]

.jpg)








