Banner

Feature – Sekelumit kisah perjuangan hidup para pengungsi di Gaza

Anggota keluarga Saed Ghanim, warga Palestina yang mengungsi, menyantap makanan di Gaza City pada 15 November 2024. Keluarga tersebut terpaksa meninggalkan Beit Lahia di Jalur Gaza utara di tengah operasi militer Israel. (Xinhua/Mahmoud Zaki)

Ledakan dan bentrokan antara tentara Israel dan pejuang Palestina menjadi latar dari pelarian Said Ghanim, dengan tubuh para korban tewas yang bergelimpangan di jalanan menyajikan pemandangan mengerikan bagi anak-anaknya.

 

Gaza, Palestina (Xinhua/Indonesia Window) – Setelah mencari selama berjam-jam, Said Ghanim, seorang ayah dari enam anak, akhirnya menemukan tempat berlindung di antara puing-puing sebuah rumah yang hancur untuk menampung keluarganya.

Pria berusia 50 tahun itu dahulu yakin bahwa warga sipil tak berdosa seperti keluarganya tidak akan menjadi target serangan Israel. Namun, pada akhirnya dia tak punya pilihan selain meninggalkan rumah mereka di Kota Beit Lahia di Jalur Gaza utara.

“Saya bertanya kepada mereka ke mana saya harus pergi karena semua tempat di Gaza tidak aman, dan saya memohon agar mereka mengizinkan kami tetap tinggal di rumah. Namun, para tentara itu menodongkan senjata mereka ke kepala saya dan mengatakan jika saya tidak meninggalkan area itu, mereka akan menghabisi kami semua,” tutur Ghanim.

Ledakan dan bentrokan antara tentara Israel dan militan Palestina menjadi latar dari pelarian mereka, dengan tubuh para korban tewas yang bergelimpangan di jalanan menyajikan pemandangan mengerikan bagi anak-anak Ghanim.

Banner

Seperti puluhan ribu keluarga pengungsi lainnya di Gaza, keluarga Ghanim memulai perjalanan tanpa mengetahui ke mana takdir akan membawa mereka.

Ketika Ghanim tiba di Gaza City, dia pun merasa lega dan bersyukur karena keluarganya selamat. Namun, tak butuh waktu lama sebelum kenyataan pahit kembali menyeruak. Setelah melewati malam yang mengerikan dalam kondisi menggigil kedinginan di jalan umum, mereka kini sangat membutuhkan tempat perlindungan.

Ghanim menghindari bangunan sekolah yang menjadi tempat penampungan karena “pihak militer menyerang sebagian besar dari bangunan-bangunan itu.”

Setelah pencarian panjang, mereka menemukan sebuah bangunan berlantai tiga yang rusak parah dengan sebuah ruangan yang tampaknya layak dijadikan tempat berlindung.

“Ruangan itu tidak memiliki kamar mandi atau dapur, tetapi kami tidak punya pilihan lain,” kata Shadia, istri Ghanim, kepada Xinhua sambil memasak di atas kayu bakar.

“Dosa apa yang kami lakukan sehingga kami hidup dalam penderitaan dan kondisi telantar seperti ini?” tanya wanita berusia 49 tahun itu, yang berat badannya telah menyusut lebih dari 20 kg.

Banner

Ghanim adalah satu dari puluhan pengungsi lainnya yang, tanpa punya banyak pilihan, memilih berlindung di rumah-rumah kosong yang pemiliknya juga terpaksa mencari perlindungan ke tempat lain.

Ledakan dan bentrokan antara
Orang-orang yang terpaksa mengungsi dari Kota Beit Lahia, Jalur Gaza utara, terlihat di sebuah jalan di Gaza City pada 17 November 2024. (Xinhua/Abdul Rahman Salama)

Sejak 5 Oktober tahun ini, tentara Israel terus melancarkan serangan militer besar-besaran terhadap Hamas di Jalur Gaza utara.

Sekitar 100.000 hingga 131.000 orang terpaksa mengungsi sejak 6 Oktober. Mereka tiba di berbagai lokasi di bagian barat dan utara Gaza City, tempat sumber daya esensial seperti tempat berlindung, air, dan layanan kesehatan sangatlah langka, menurut informasi terbaru yang dirilis oleh Kantor Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan (OCHA) pada Selasa (19/11).

Ghassan Hanoun, seorang warga kamp pengungsi Jabalia, menemukan tempat berlindung di kamp pengungsi al-Shati di Gaza City barat untuk tinggal bersama keluarganya yang beranggotakan delapan orang.

“Saya menghabiskan waktu berhari-hari membersihkan puing-puing untuk menciptakan ruangan yang layak huni bagi anak-anak saya. Ketika saya melihat mereka, saya menangisi situasi kami yang mengerikan di tengah perang,” tutur pria berusia 35 tahun itu kepada Xinhua.

“Kehidupan kami sebelum perang sangat indah dalam segala aspek. Kami memiliki rumah, lingkungan permukiman, restoran, jalanan, dan kota-kota yang indah,” kenangnya. Kini, tinggal di rumah yang setengah hancur tanpa kebutuhan dasar, dia kehilangan hampir separuh dari bobot tubuhnya akibat kelaparan.

Banner

“Kami terpaksa menggali lubang di pasir untuk digunakan sebagai kakus, dan mengandalkan kayu untuk memasak, itu pun jika ada makanan yang bisa dimasak,” katanya.

Ledakan dan bentrokan antara
Sejumlah warga Palestina terlihat di sebuah sekolah, yang dialihfungsikan menjadi tempat penampungan, yang hancur dalam serangan udara Israel di Gaza City pada 16 November 2024. (Xinhua/Mahmoud Zaki)

Cerita itu tidak dilebih-lebihkan. Menurut sebuah laporan tentang kelaparan yang dirilis oleh Klasifikasi Fase Ketahanan Pangan Terpadu (Integrated Food Security Phase Classification/IPC) pada akhir Oktober, hampir 2 juta orang, atau 90 persen lebih dari total populasi, diperkirakan akan mengalami kerawanan pangan parah pada periode November 2024 hingga April 2025.

Pada Oktober, hanya 5.000 metrik ton makanan dikirim ke Gaza, atau hanya seperlima dari bantuan makanan krusial yang dibutuhkan untuk 1,1 juta penduduk yang mengandalkan bantuan penyelamat dari Program Pangan Dunia (WFP).

Seorang anak Palestina membawa jeriken berisi air di Kota Deir al-Balah di Jalur Gaza tengah pada 13 November 2024. (Xinhua/Marwan Dawood)

Dengan sumber daya yang kian menipis dan tidak adanya tanda bahwa situasi ini akan berakhir, keluarga Ghassan, keluarga Ghanim, dan warga lainnya harus menghadapi masa depan yang semakin tidak pasti sembari berjuang untuk bertahan hidup di tengah kehancuran.

Laporan: Redaksi

Banner

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Banner

Iklan