Imam Nawawi mencurahkan seluruh waktunya untuk belajar, mengajar dan menulis kitab. Disebutkan bahwa dia tidak akan tidur kecuali jika jatuh tertidur.
Jakarta (Indonesia Window) – Nama lengkapnya adalah Abu Zakaria Muhyiddin Yahya, putra dari Syaraf An-Nawawi bin Murry bin Hassan bin Husain bin Muhammad bin Juma bin Hazam.
Namun, dia lebih dikenal sebagai Imam Nawawi atau Imam An-Nawawi, merujuk pada tempat kelahirannya di Desa Nawa, dekat ibu kota Damaskus, Suriah pada bulan Muharram 631 Hijriah (1233 M).
Sangat sedikitnya informasi tentang ayah dari Imam An-Nawawi dan kerabat lainnya, menunjukkan bahwa keluarganya bukanlah termasuk yang terpandang.
Meskipun tidak dikenal menghasilkan ulama-ulama besar, Syaraf An-Nawawi bin Murry memiliki reputasi sebagai orang yang sangat sholih.
Masa kecil
Sedari dini Imam An-Nawawi tidak tertarik pada olah raga atau bermain, sampai-sampai banyak kawan sebayanya mengolok-oloknya karena hal ini.
Imam An-Nawawi kecil lebih tertarik untuk belajar, dan tidak suka aktivitas apa pun yang akan menjauhkannya dari menghafal Al-Quran. Suatu ketika, teman-temannya memaksanya untuk bermain dengan mereka, hingga dia pun menangis karena merasa telah menyia-nyiakan waktu tanpa belajar. Tak heran jika Imam An-Nawawi sudah hafal Al-Quran sejak masih kecil.
Gurunya di Nawa menyampaikan kebiasaan dan perkembangan An-Nawawi kepada ayahnya, sehingga memutuskan untuk terus mendorong putranya untuk terus belajar dan memperdalam ilmu Islam.
Mengejar ilmu
Imam An-Nawawi tinggal di Nawa sampai usia 18 tahun. Pada tahun 649 Hijriah, dia pergi ke Damaskus yang pada waktu itu dianggap sebagai pusat ilmu pengetahuan karena memiliki lebih dari tiga ratus institut, akademi dan universitas.
Di Damaskus dia mempelajari hadits, yurisprudensi dan prinsip-prinsip Islam dari banyak ulama besar Islam seperti lshaaq bin Ahmad Al-Maghrabi Al-Maqdisi, Abdul Rahmaan Al-Anbari dan Abdul Azeez Al-Ansaari. Dari Abu lshaaq Ibrahim Al-Waasiti, Imam An-Nawawi belajar shohih Muslim.
Pada usia 24 tahun, dia mulai mengajar di sekolah Ashrafiyah. Reputasi dan keunggulannya sebagai ulama diakui oleh para ulama dan penduduk Damaskus. Selama periode ini, Imam An-Nawawi menunaikan ibadah haji pada tahun 1253 M.
Imam An-Nawawi mencurahkan seluruh waktunya untuk belajar dan mengajar. Disebutkan bahwa dia tidak akan tidur kecuali jika jatuh tertidur.
“Saya menghabiskan dua tahun tanpa berbaring di tanah (untuk tidur) di sisi saya,” tutur Imam An-Nawawi.
Seorang ulama, Al-Qutb Al-Yauneeni, berkata tentang Imam An-Nawawi, “Dia tidak menyia-nyiakan waktu siang dan malam karena dia akan menghabiskannya dengan sibuk mencari ilmu. Bahkan ketika dia berada di jalanan, dia akan sibuk mengulang-ulang hafalannya dan melihat catatannya. Dia terus menimba ilmu dan kebiasaan ini dilakukannya terus selama enam tahun.”
Sederhana
Walaupun telah dikenal sebagai ulama besar Islam, sepanjang hidupnya Imam An-Nawawi hanya mengenakan sorban dan gamis panjang.
Dia tidak menerima gaji dari pekerjaan mengajarnya. Satu-satunya kepemilikan materi Nawawi di dunia adalah buku yang menyesakki kamarnya yang kecil.
Dia juga sangat berhati-hati dengan makanan yang masuk ke dalam perutnya. Pada suatu waktu, Imam Nawawi tidak akan makan apa pun kecuali kue dan buah zaitun yang dikirim ayahnya dari waktu ke waktu dari Nawa. Hal ini karena dia yakin bahwa makanan tersebut berasal dari sumber yang halal.
An-Nawawi tidak pernah menikah karena kurangnya keinginan untuk menikmati kesenangan dunia dan tekad yang besar untuk belajar, mengajar dan menunaikan ibadah.
“Bisa jadi dia tidak menikah karena khawatir tidak bisa memenuhi hak istrinya karena keinginan belajarnya,” tulis Al-Diqr tentang Imam An-Nawawi.
Karya
An-Nawawi mulai menulis pada tahun 663 atau 664 Hijriah saat usinya antara 31 dan 32 tahun.
Dalam rentang waktu 12-13 tahun, dia menyusun beberapa karya terpenting dalam khazanah keilmuan Islam.
Karya klasiknya, Al-Majmu’ – yang tidak sempat diselesaikannya – diterbitkan dalam sembilan volume besar.
Al-Majmu’ merupakan kitab yang menguraikan hukum-hukum fiqih berdasarkan Madzhab Imam Syafii, yang menjelaskan isi dari kitab Al-Muhadzab karangan Imam Abu Ishaq Al-Syirozi.
Selain itu, Imam An-Nawawi juga menulis kitab Riyadhus Sholihin yang berisi kumpulan hadits Nabi Muhammd ﷺ yang shohih. Di dalam kitab ini tidak didapatkan hadits yang lemah kecuali sedikit, dan itu pun menurut pandangan dan ilmu Imam An-Nawawi adalah shohih.
Wafat
Tak lama setelah Imam An-Nawawi pulang ke kampung halamannya di Nawa, dia jatuh sakit dan akhirnya meninggal pada 24 Rajab 676 Hijriah atau 1277 M, di usia 45 tahun.
Imam An-Nawawi dimakamkan di Nawa, Suriah. Sebelumnya, ulama besar ini berharap agar makamnya dibuat sesuai dengan sunnah, yaitu rata dan tanpa sedikit pun bangunan di atasnya.
Beberapa orang memutuskan untuk membangun kubah di atas kuburannya, namun Allah ﷻ berkehendak agar keinginan Imam An-Nawawi terkabul. Setiap kali mereka mencoba membangun sesuatu di atas makam sang imam, bangunan itu hancur.
Setelah upaya yang berkali-kali, akhirnya makam Imam An-Nawawi dibiarkan rata dengan tanda yang tidak mencolok sesuai dengan sunnah Nabi ﷺ. Meskipun tak berhias, makam Imam An-Nawawi dikenal hingga saat ini.
Semoga Allah ﷻ membalas semua amal Imam An-Nawawi dengan kelapangan kubur dan kenikmatan akhirat.
Sumber: https://www.islamicfinder.org/
Laporan: Redaksi