Samarinda, Kalimantan Timur (Indonesia Window) – Indonesia merupakan negara yang berbatasan langsung dengan tiga lempeng tektonik aktif, dan termasuk dalam zona Ring of Fire atau ‘Cincin Api Pasifik’.
Pernyataan tersebut sangat mungkin telah populer di tengah masyarakat Tanah Air, yang memang hal telah menjadi karakteristik unik dari kondisi geologi Indonesia.
Namun demikian, seberapa jauhkah masyarakat Indonesia paham akan makna dan implikasi dari pernyataan tersebut?
Tektonik Indonesia
Penelaahan lebih lanjut menunjukkan bahwa lokasi Indonesia berada di perbatasan langsung tiga lempeng tektonik aktif, yaitu Lempeng Eurasia dan Indo-Australia dengan batas yang memanjang dari sebelah barat Pulau Sumatra, memanjang ke sebelah selatan Pulau Jawa hingga Nusa Tenggara. Pada sisi timur laut, Indonesia berbatasan langsung dengan Lempeng Pasifik.
Batas-batas lempeng tersebut yang dikenal dengan zona subduksi, memiliki dampak besar terhadap kondisi alam di Indonesia. Subduksi adalah kondisi ketika lempeng samudra, yang lebih berat massa jenisnya, menyusup di bawah lempeng benua.
Satu contoh dampak berada di batas lempeng tektonik aktif yang paling jelas adalah tingginya intensitas gempa bumi yang terjadi. Dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir saja beberapa gempa bumi besar mengguncang Indonesia, seperti gempa bumi Palu tahun 2017 dan Lombok tahun 2018.
Data dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tahun 2021 mencatat, selama kurun waktu 20 tahun terakhir, terjadi 26 gempa bumi yang merusak.
Bahkan, Kalimantan, pulau yang dianggap memiliki risiko gempa bumi sangat rendah sehingga jadi salah satu alasan dipilih menjadi wilayah Ibu Kota Nusantara (IKN), juga tak luput dari guncangan tektonik sepanjang tahun ini.
Kesiapan rendah
Sayangnya, banyaknya kejadian gempa di Tanah Air tidak diimbangi dengan kesiapsiagaan menghadapi bencana tersebut.
Selama ini penanganan bencana hanya berfokus pada tindakan responsif ketika gempa telah terjadi. Hal ini kurang efektif dalam upaya mengurangi timbulnya korban karena banyak kendala yang ditemui saat dan pascabencana, seperti penerapan protokol keselamatan yang kurang optimal, pengiriman bantuan dan pelaksanaan evakuasi yang lambar, serta kepanikan masyarakat karena kurangnya pemahaman mereka akan bencana yang terjadi.
Di sisi lain, tindakan mitigasi atau upaya mengurangi risiko bencana baik dari pihak pemerintah maupun masyarakat belum maksimal. Hal ini terlihat dari kurangnya penerapan upaya pengurangan risiko bencana, seperti pembangunan fisik yang menggunakan struktur tahan gempa dan sosialisasi secara berkelanjutan yang bertujuan membangun kesadaran masyarakat akan potensi bencana dan langkah-langkah yang harus diambil secepat-cepatnya saat dan setelah peristiwa tersebut terjadi.
Berkaitan dengan kesadaran publik, tidak sedikit masyarakat di Tanah Air yang masih memiliki paradigma berpikir apatis, bahkan fatalis, bahwa ‘bencana alam adalah takdir’ sehingga merasa tidak perlu untuk mengambil tindakan-tindakan preventif yang sesungguhnya bisa membantu mengurangi risiko dan dampak bencana. Minimnya pengetahuan terhadap ancaman bencana di daerah sekitar tempat tinggal sangat mungkin menjadi faktor penyebab jatuhnya jumlah korban yang besar serta trauma yang berkepanjangan.
Perencanaan
Membangun kesiapan publik dalam mitigas bencana di Tanah Air adalah tugas dan tanggung jawab bersama pemerintah, akademisi, masyarakat, dan para pemangku kepentingan lainnya.
Pemerintah harus menyusun kebijakan dan perencanaan pembangunan wilayah yang solid dan komprehensif, dengan memasukkan dan melaksanakan rekomendasi dari para ahli yang berkompeten di bidang ini. Di daerah-daerah yang rawan bencana geolofi, seperti gempa bumi dan tsunami, tata kota dan pembangunan infrastruktur harus benar-benar dipastikan memperhatikan dan menyesuaikan kondisi geologi.
Misalnya, pembangunan fasilitas-fasilitas strategis publik seperti rumah sakit dan jembatan harus memperhatikan kondisi geologi daerah sekitarnya, di antaranya menghindari jalur patahan batuan dan menempatkan fondasi struktur bangunan di atas batuan yang kompak guna menghindari potensi likuifaksi seperti yang terjadi pada gempa dengan magnitudo 7,5 di Palu, Sulawesi Tengah pada tahun 2018, yang menewaskan setidaknya 4.340 jiwa, menurut data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).
Dalam kegiatan memetakan potensi bencana, pemahaman dan penerapan ilmu geologi oleh para ilmuwan dan akademisi akan memaksimalkan upaya pengembangan wilayah yang tepat dan berdampak positif. Selain itu, peran mereka sangat diharapkan dalam mengembangkan metode dan sistem yang inovatif terkait peringatan dini atau early warning gempa, tsunami atau tanah longsor guna mengurangi korban yang lebih besar. Apalagi, sampai saat ini belum ada teknologi yang dapat memprediksi secara pasti kapan gempa bumi akan terjadi.
Dari sisi masyarakat – sebagai elemen yang paling terdampak ketika bencana terjadi – meningkatkan kesiapsiagaan menghadapi bencana harus terus diupayakan, baik secara individual maupun di kalangan komunitas sosial. Kesiapsiagaan sebagai usaha dan kegiatan yang dilakukan sebelum terjadinya bencana alam bertujuan agar setiap orang mampu merespon keadaan atau situasi yang timbul saat dan segera setelah bencana terjadi, secara cepat dan efektif sehingga bisa mengurangi dampak negatif yang ditimbulkan akibat peristiwa tersebut.
Penulis: Ni’matul Azizah Raharjanti M.Eng (dosen Teknik Geologi Universitas Muhammadiyah Kalimantan Timur)
Penyunting: Redaksi