Kera raksasa Gigantopithecus blacki hidup di hutan yang lebat antara 2,3 juta dan 700.000 tahun silam, namun dalam 400.000 tahun berikutnya, lingkungan tersebut berubah menjadi lebih musiman, sehingga habitat yang mereka sukai menjadi lebih langka dengan tanaman nonkayu mulai meluas, yang menandai kepunahan G. blacki.
Beijing, China (Xinhua) – Sebuah tim ilmuwan internasional dari China, Australia, dan Amerika Serikat (AS) mengungkap misteri tentang kapan dan bagaimana terjadinya kepunahan kera terbesar yang pernah ada di Bumi.
Gigantopithecus blacki, atau G. blacki, primata setinggi tiga meter dan memiliki bobot hingga 300 kilogram, yang pernah mendiami dataran Karst di China selatan, punah sekitar 295.000 hingga 215.000 tahun yang lalu, lebih awal dari kemunculan manusia modern di daerah tersebut, menurut studi yang dipublikasikan dalam jurnal Nature pada Kamis (11/1).
Temuan itu mematahkan mitos dalam sejumlah cerita rakyat bahwa kera raksasa yang berkerabat dekat dengan orang utan tersebut pernah terlihat di hutan oleh manusia.
Fosil gigi
G. blacki dinamai oleh ahli paleoantropologi Ralph von Koenigswald pada 1935 berdasarkan satu gigi geraham belakang yang panjangnya sekitar dua sentimeter. Nama ‘blacki’ disematkan untuk menghormati ahli anatomi Kanada Davidson Black, yang menyelidiki evolusi manusia di China.
Sejak 1950-an, sekitar 2.000 fosil gigi dan empat tulang rahang kera raksasa itu diekskavasi di Daerah Otonom Etnis Zhuang Guangxi, China selatan. Namun, belum ada satu pun fosil bagian leher ke bawah atau rahang ke atas yang pernah ditemukan hingga saat ini.
“Kisah G. blacki merupakan sebuah misteri dalam paleoantropologi,” ujar salah satu penulis utama makalah itu, Zhang Yingqi, dari Institut Paleontologi Vertebrata dan Paleoantropologi (Institute of Vertebrate Palaeontology and Palaeoanthropology/IVPP) di bawah naungan Akademi Ilmu Pengetahuan China (Chinese Academy of Sciences/CAS). “Penyebab punahnya (kera) yang belum terpecahkan itu telah menjadi Cawan Suci dalam bidang tersebut.”
Pada 2015, Zhang dan rekan-rekannya meluncurkan penyelidikan berskala besar dengan melakukan pencarian menyeluruh di area perbukitan di seluruh Guangxi. Mereka mengumpulkan bukti-bukti dari 22 situs gua. Hasilnya, 11 gua di antaranya ditemukan menyimpan fosil G. blacki dan 11 gua lainnya dengan rentang masa yang sama tidak.
Dalam penelitian lanjutan, tim itu menggunakan enam teknik penanggalan berbeda untuk sedimen gua dan fosil. Sebanyak 157 hasil penanggalan mengungkap bahwa spesies ini berada di ambang kepunahan antara 295.000 hingga 215.000 tahun silam.
Teknik penanggalan utama yang digunakan dalam studi tersebut mengukur sinyal peka cahaya yang ditemukan di sedimen penguburan yang menyelimuti fosil-fosil itu.
Angka usia yang diperoleh dari teknik itu selaras dengan hasil penanggalan langsung pada fosil. Bersama dengan hasil dari teknik lainnya, mereka kemudian menyusun kronologi yang komprehensif dan dapat diandalkan perihal kepunahan G. blacki.
“Menetapkan waktu yang tepat saat suatu spesies punah dari catatan fosil memberikan kami target kerangka waktu untuk rekonstruksi lingkungan dan penilaian perilaku,” kata salah satu penulis utama makalah itu, Kira Westaway, dari Universitas Macquarie di Australia.
Kerentanan
Lewat bukti lebih lanjut dari serbuk sari, fauna, dan isotop yang stabil, tim itu merekonstruksi sejarah kepunahan kera itu.
Kera raksasa itu hidup di hutan yang lebat antara 2,3 juta dan 700.000 tahun silam, namun dalam 400.000 tahun berikutnya, lingkungan tersebut berubah menjadi lebih musiman, sehingga habitat yang mereka sukai menjadi lebih langka dengan tanaman nonkayu mulai meluas, yang menandai kepunahan G. blacki.
Menghadapi tekanan untuk bertahan hidup semacam itu, orang utan beradaptasi lewat ukuran, perilaku, dan preferensi habitat mereka. Namun, mengapa makhluk yang begitu perkasa tersebut gagal di saat primata lain bisa bertahan?
Tim itu menganalisis elemen jejak dan tekstur keausan mikro pada gigi G. blacki dan orang utan. “Gigi memberikan wawasan yang mengejutkan terkait perilaku spesies yang mengindikasikan stres, keragaman sumber makanan, dan perilaku berulang,” tutur Renaud Joannes-Boyau dari Southern Cross University di Australia, yang juga salah satu penulis utama makalah tersebut.
Hasil tersebut mengungkap bahwa G. blacki mengandalkan makanan cadangan yang kurang bergizi dan berserat tinggi, seperti buah dan bunga, kendati jenis makanan itu sulit ditemukan kala itu, sehingga menurunkan keragaman makanan.
Spesies yang memilih-milih soal makanan itu juga dihadapkan dengan penyusutan area mencari makan, sehingga populasinya menurun. Sebagai perbandingan, analisis dental menunjukkan bahwa spesies adaptif yang lebih lincah seperti orangutan berhasil mencari lebih banyak sumber makanan dan membentuk ceruk ekologis baru, urai Zhang dalam sebuah konferensi pers pada Rabu (10/1).
Selain itu, tubuh kera raksasa Gigantopithecus blacki membesar selama evolusinya dengan alasan yang masih belum jelas, sehingga memperburuk stres kronis akibat kekurangan makanan, imbuh Zhang.
“Menjajaki penyebab kepunahan di masa lalu yang belum terselesaikan memberikan kami titik awal yang baik untuk memahami daya tahan primata dan nasib hewan besar lainnya, di masa lalu dan masa mendatang,” ujar Westaway.
Laporan: Redaksi