Banner

Sudan Selatan kaya minyak namun rakyatnya hidup miskin

Ilustrasi. Pada tanggal 9 Juli 2011, Sudan Selatan memproklamirkan dirinya merdeka dari Sudan setelah enam tahun mempunyai status otonomi dan berjuang selama puluhan tahun untuk menjadi negara yang berdiri sendiri. (David Peterson from Pixabay)

Keuntungan dari minyak ditransfer lebih banyak kepada segelintir individu daripada untuk negara atau masyarakat.

 

Jakarta (Indonesia Window) – Meskipun memiliki cadangan minyak yang sangat besar, Sudan Selatan, negara Afrika Tengah yang terkurung daratan terus mengalami kemiskinan bahkan setelah memperoleh kemerdekaan 11 tahun yang lalu.

Berbicara kepada Anadolu Agency pada malam Hari Kemerdekaan Sudan Selatan, yang diperingati pada hari Sabtu, Ter Manyang Gatwech, Kepala Pusat Perdamaian dan Advokasi yang berbasis di Juba, mengklaim bahwa keuntungan dari minyak telah ditransfer lebih banyak kepada segelintir individu daripada untuk negara atau masyarakat.

“Minyak kami adalah kutukan karena minyak tidak menciptakan kekayaan bagi rakyat Sudan Selatan. Ini (minyak) telah menguntungkan beberapa individu yang ingin rakyatnya terus berada dalam kemiskinan ekstrem,” katanya.

Menurut laporan, Sudan Selatan memiliki cadangan minyak terbesar ketiga di Afrika Sub-Sahara dengan sekitar 3,5 miliar barel diproduksi setiap tahun. Para ahli percaya bahwa 90 persen dari cadangan gas dan minyak masih belum dimanfaatkan.

Sudan Selatan saat ini memproduksi 147.000 barel minyak per hari, turun dari 160.000 barel minyak per hari tahun lalu.

minyak sudan selatan
Ilustrasi. Sudan Selatan memiliki cadangan minyak terbesar ketiga di Afrika Sub-Sahara dengan sekitar 3,5 miliar barel diproduksi setiap tahun. (iStock by Getty Images)

Gatwech mengatakan bahwa ketika negara memperoleh kemerdekaan, diharapkan kekayaan minyak negara akan membantu membangun negara dan menghapus kemiskinan.

Dia mengatakan bahwa perusahaan minyak bahkan tidak mempekerjakan pemuda lokal.

Kemiskinan

Pada tanggal 9 Juli 2011, Sudan Selatan memproklamirkan dirinya merdeka dari Sudan setelah enam tahun mempunyai status otonomi dan berjuang selama puluhan tahun untuk menjadi negara yang berdiri sendiri.

Para ahli mengatakan bahwa bahkan kenaikan harga bahan bakar secara global tidak menguntungkan baik masyarakat maupun pemerintah di Sudan Selatan.

Menurut prospek ekonomi Sudan Selatan, yang diterbitkan oleh Bank Pembangunan Afrika, kemiskinan telah meningkat di negara itu dari 55,4 persen pada tahun 2020 menjadi 55,9 persen pada tahun 2021 dan pengangguran tetap tinggi pada angka 18 persen.

Menteri Keuangan Sudan Selatan Agak Achuil pada Mei lalu mengatakan bahwa pemerintah sedang berjuang untuk membayar upah pegawai negeri karena hasil minyak negara itu telah dijual di awal.

“Uang minyak digunakan untuk pembayaran pinjaman dan prioritas lainnya,” katanya.

John Bol, seorang warga ibu kota Juba, mengatakan Sudah Selatan diharapkan akan berkembang dan orang-orang akan bebas bergerak dan bekerja di mana saja di negara itu setelah kemerdekaan.

“Orang-orang sangat senang bahwa mereka tidak akan lagi menderita seperti yang terjadi di bawah rezim yang berbasis di Khartoum. Namun sayangnya, perang dimulai lagi pada tahun 2013 membuat segalanya dari yang buruk menjadi yang terburuk dan tidak ada yang memberi tahu kami ke mana perginya uang minyak kami,” katanya.

Dia mengatakan bahwa negara ini kaya tetapi masih sebagian besar rakyatnya hidup di bawah garis kemiskinan.

Mengakui kurangnya pembangunan, Wakil Menteri Luar Negeri Deng Dau Deng mengatakan hanya masalah waktu untuk fokus pada kemajuan dan untuk menangani isu-isu seperti buta huruf dan penyakit.

“Sebagian besar negara Afrika memiliki tantangan seperti kita. Kita bukan negara yang terisolir, rakyat sudah berjuang setelah kemerdekaan, kita harus menerima itu, ya tapi mari kita bergerak bersama,” katanya.

Kurang manajemen

Namun, seorang pejabat senior dari Kementerian Keuangan, dengan syarat anonim, mengatakan kepada Anadolu Agency bahwa hasil dari perdagangan minyak disalahgunakan di negara tersebut.

Dia mengatakan bahwa meskipun pendapatan diperoleh dari penjualan minyak, pegawai negeri dibiarkan tanpa upah selama berbulan-bulan.

“Kami memiliki sumber daya yang cukup tetapi sumber daya ini tidak digunakan dengan benar, ada kekurangan manajemen yang tepat, itulah sebabnya orang melihat Sudan Selatan seperti negara miskin,” katanya.

Mengenai penurunan produksi, Awou Daniel Chuang, wakil menteri di Kementerian Perminyakan mengaitkannya dengan mesin yang menua, banjir, dan masalah logistik.

Dia menyerukan kemajuan teknologi dan ekspansi di area eksplorasi untuk menjaga tingkat produksi tetap stabil.

Sumber: Anadolu Agency

Laporan: Redaksi

Tinggalkan Komentar

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Iklan