Kekayaan budaya Sungai Kuning di Desa Nanchangtan, warisan pertanian, dan penemuan arkeologis dari era Dinasti Yuan dan Ming (1271-1644) membuatnya ditetapkan sebagai desa bersejarah dan berbudaya sejak 2008.
Yinchuan, China (Xinhua) – Li Jinwu, dari Desa Nanchangtan di Kota Zhongwei, Daerah Otonom Etnis Hui Ningxia di China barat laut, telah menyaksikan perubahan besar di kampung halamannya selama hampir tiga dekade berkarier sebagai pengemudi kapal feri (ferryman) di Sungai Kuning.
Terletak di kawasan tepi sungai berbentuk bulan sabit, Nanchangtan memiliki sejarah lebih dari 1.000 tahun. Desa ini memiliki keunggulan sebagai desa pertama yang dilalui Sungai Kuning, sungai terpanjang kedua di China, saat memasuki Ningxia.
Dulunya karena hambatan geografis, transportasi menjadi hal yang sangat menantang, menyebabkan warga desa hidup dalam kondisi yang cukup terisolasi. Bahkan saat ini, untuk dapat tiba di Nanchangtan memerlukan kapal feri untuk menyeberangi Sungai Kuning.
Li mencari nafkah dengan melayani penyeberangan selama 28 tahun. Selama hampir tiga dekade, kapalnya berkembang mulai dari rakit kulit domba menjadi feri pertama pada 1996 dan feri kedua pada 2012. Kapal feri terbarunya, yang berukuran panjang 20 meter dan lebar lima meter, mampu menampung enam kendaraan beserta para penumpang.
“Dahulu, perahu kecil sudah cukup untuk mengangkut warga desa. Namun, dengan meningkatnya jumlah wisatawan dan kendaraan baru-baru ini, peningkatan kapal feri menjadi hal yang penting,” kata Li.
Selama festival bunga pir tahunan di desa tersebut pada April, puluhan ribu wisatawan berbondong-bondong mengunjungi desa terebut untuk menikmati pesona pohon-pohon pir yang berusia seabad, sehingga secara signifikan menggenjot pendapatan Li sebagai pemilik kapal feri. Desa ini adalah rumah bagi lebih dari 160 pohon pir yang berumur lebih dari 300 tahun.
Kekayaan budaya Sungai Kuning di Desa Nanchangtan, warisan pertanian, dan penemuan arkeologis dari era Dinasti Yuan dan Ming (1271-1644) membuatnya ditetapkan sebagai desa bersejarah dan berbudaya sejak 2008.
Ta Shouqing, ketua Partai desa itu, menyoroti keberhasilan warga setempat dalam memanfaatkan pesona pedesaannya. Desa tersebut telah menjadi tuan rumah festival bunga pir dan panen sejak 2004, yang menarik pengunjung dan meningkatkan pendapatan masyarakat serta membawa peluang bagi desa kuno itu, katanya.
Li Gang (53) mengatakan nenek moyangnya mencari nafkah dengan bertani dan menggembala domba di desa tersebut. Mengikuti tren pariwisata pedesaan, Li dan istrinya menjalankan sebuah penginapan rumah sewa (homestay) yang dapat menampung 30 tamu untuk menginap dan 50 orang untuk bersantap.
“Kami tidak menyangka begitu banyak pengunjung yang datang ke desa kami. Dari festival bunga pir pada April hingga festival panen pada Oktober, homestay kami dipesan hampir setiap akhir pekan,” tambah Li Gang.
Berkat industri pariwisata yang berkembang pesat, pendapatan per kapita yang siap dibelanjakan (per capita disposable income) seluruh desa itu mencapai 14.200 yuan pada 2023.
“Kami menjelajahi kebun buah pir dan menikmati keindahan Sungai Kuning di siang hari; di malam hari, kami memandangi langit berbintang di sini,” tutur Liu Ruixue, seorang wisatawan dari Mongolia Dalam bagian utara.
“Kehidupan pedesaan yang kuno dan sederhana di desa ini menghadirkan rasa kedekatan dengan alam yang telah lama hilang,” tambahnya.
*1 yuan = 2.234 rupiah
Laporan: Redaksi