Feature – Jalur Gaza: Dari “penjara” jadi “neraka”
Kehancuran ekstensif di Jalur Gaza terlihat melalui citra satelit setelah dua tahun agresi militer Israel terhadap warga Palestina. Sebagian besar area di wilayah kantong itu hancur menjadi puing-puing akibat serangan udara Israel yang terus menghantam.
Gaza, Palestina (Xinhua/Indonesia Window) – Dua tahun setelah konflik antara Israel dan Hamas pecah pada 7 Oktober 2023, citra satelit mengungkap kehancuran ekstensif di Jalur Gaza. Sebagian besar area di wilayah kantong itu hancur menjadi puing-puing akibat serangan udara Israel yang terus menghantam.
Keluarga-keluarga menyaksikan dunia mereka luluh lantak saat wilayah kantong itu berubah menjadi neraka di Bumi. Citra satelit menunjukkan situasi kehancuran yang sulit ditangkap oleh dunia. Sebagian besar wilayah Gaza utara kini tinggal reruntuhan.
Gaza, sebuah wilayah sempit yang terletak di antara Mesir dan Israel di pesisir Mediterania, kini tak lebih dari tumpukan puing.
“Sejak blokade Gaza dimulai pada 2007, wilayah kantong ini laksana ‘penjara’ raksasa dengan lebih dari 2 juta jiwa terperangkap di dalamnya. Mereka kehilangan hak atas kebutuhan mendasar dalam hidup. Kini, setelah dua tahun berturut-turut dihujani serangan tiada henti oleh Israel, Gaza bukan lagi sekadar ‘penjara’, melainkan sebuah ‘neraka’ nyata, di mana nyawa manusia, rumah, dan kenangan terkubur di bawah reruntuhan, sementara para penyintas berjuang setiap hari hanya untuk bertahan hidup. Di setiap sudut, Anda melihat wajah-wajah yang lelah karena penderitaan, namun tetap berjuang demi bertahan hidup,” kata Mohammed Odwan, reporter Xinhua di Jalur Gaza.
Selama dua tahun, krisis kemanusiaan bertambah parah setiap harinya. Lebih dari 67.000 warga Palestina telah tewas dan hampir 170.000 lainnya luka-luka.
“Saya telah mengungsi sekitar 18 kali sejak perang dimulai. Dari Gaza ke Rafah, ke Khan Younis, ke Deir al-Balah, lalu kembali lagi ke Gaza. Hidup terasa sangat sulit. Tidak ada tempat berlindung, tidak ada tempat bersih, tidak ada makanan, tidak ada air. Hidup benar-benar bagaikan penderitaan,” kata Ahmed al-Madhoun, seorang pengungsi Palestina.
Bagi warga, bertahan hidup dari hampir 100 serangan sehari telah menjadi rutinitas. Rumah, sekolah, masjid, kamp pengungsi, bahkan rumah sakit, semuanya diserang. Setiap jengkal wilayah tampak menanggung bekas luka perang.
“Tidak ada makanan atau air. Anak-anak tidak bisa tidur karena lapar dan haus. Mereka terus-menerus menangis. Pada malam hari, ketika mereka hampir pingsan karena kelaparan dan kehausan, kami membawa mereka ke rumah sakit,” kata Mahmoud al-Masri, seorang pengungsi Palestina.
Di tengah kehancuran itu, dunia terus menyerukan gencatan senjata. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan organisasi-organisasi bantuan mendesak pembukaan koridor kemanusiaan agar makanan dan obat-obatan dapat masuk ke Gaza. Namun, kata-kata tidak berubah menjadi aksi. Truk bantuan hanya berderet terparkir di perbatasan. Bantuan harus menunggu, sementara bom tidak berhenti dijatuhkan.
Bagi warga Gaza, setiap fajar mencetuskan sebuah pertanyaan yang sama: Apakah mereka akan bisa bertahan hidup untuk melihat malam berikutnya? Dan perdamaian masih terasa seperti mimpi yang terlalu jauh untuk diraih.
“Saya telah membayar harga yang mahal. Darah saya, darah putra saya, uang saya, rumah saya yang hancur. Kami hanya berharap perang ini akan berakhir,” tutur Ahmed al-Madhoun.
Laporan: Redaksi

.jpg)








