Jakarta (Indonesia Window) – Meski masih diselimuti kabut misteri, peristiwa penabrakan dua pesawat komersial dari US Airlines bernomor penerbangan 11 dan 175 ke menara kembar WTC (World Trade Center) di New York, Amerika Serikat menjadi latar belakang digaungkannya ‘perang melawan terorisme’ ke seluruh dunia.
Seiring dengan semakin kerasnya seruan tersebut, beberapa organisasi internasional menyusun langkah-langkah penanggulan terorisme. Sejumlah negara juga turut menetapkan Undang Undang dalam rangka mencegah dan menangani kejahatan tersebut. Namun, apakah sesungguhnya terorisme itu, dan apa bedanya tindakan terror dengan kejahatan lainnya yang sebenarnya juga “meneror” (megejutkan dan menakuti) korban?
Dalam penelitiannya yang dipublikasikan pada 2004, Alex Schmid menemukan bahwa kata “terorisme” pertama kali diterapkan pada “rezim de la terreur” dari Maximilien Robespierre selama masa Revolusi Prancis (1789 – 1799).
Kata terorisme juga muncul pada akhir abad ke-19 untuk menyebut kaum anarkis dan sosial-revolusioner yang yang terlibat dalam teror individu.
Pada abad ke-20, rezim Komunis “Teror Merah”, serta teror rezim Nazi dan Fasis juga disebut terorisme.
Kata terorisme juga digunakan untuk menyebut perjuangan Palestina serta “perang gerilya kota” (urban guerilla) yang terjadi di Amerika Latin dan Eropa pada 1960-an, sedangkan pada 1990-an istilah itu banyak digunakan untuk menamakan para “fundamentalis agama”.
Meskipun penggunaan terorisme telah digunakan secara luas dalam banyak konteks selama bertahun-tahun dan kini telah menjadi istilah utama dalam perdebatan politik, narasi budaya dan percakapan sehari-hari, makna dan penggunaan terorisme dikritik oleh peneliti Richard Jackson dari Universitas Otago (Selandia Baru), sementara Profesor Louise Richardson dari Universitas Harvard menganggap istilah itu hampir kehilangan maknanya.
Bagi Boaz Ganor dalam Schmid (2004) tidak mudah mendefinisikan terorisme. Menurut dia, pendefinisian terorisme adalah suatu kontes terbuka di mana mereka yang terlibat dalam politik, hukum, dan ilmu sosial dapat membuat makna mereka sendiri dan menghasilkan berbagai pengertian. Tidak ada arti dari orang-orang ini yang benar atau salah.
Ganor berpendapatan bentuk terorisme beragam dan terkait dengan kejahatan yang dapat ditemukan dalam kehidupan sosial. Dia juga menilai bahwa istilah ini pertama kali muncul lebih dari 200 tahun yang lalu, dan selama waktu itu telah mengalami perubahan makna keberadaannya.
Menurut Ganor, terorisme adalah tindakan yang seluruhnya bersifat rahasia, hingga sebuah aksi teror dieksekusi oleh pelaku di tengah masyarakat. Oleh karena itu sulit mengeksplorasi kelompok atau individu teroris, seperti aktor intelektual, pelaksana di lapangan, serta sumber sokongan dana.
Teroris dapat bekerja untuk kepentingan khusus suatu negara atau untuk menentang suatu pemerintah. Konsekuensinya, definisi terorisme menjadi bias dan berstandar ganda berdasarkan kepentingan masing-masing pihak. Terorisme telah berkembang menjadi bukan hanya mereka yang melakukan tindakan kekerasan bermotif jahat, tetapi juga terkait dengan isu-isu mengenai penentuan nasib sendiri, perlawanan bersenjata terhadap pendudukan asing dan rezim rasis. Dalam kondisi ini hanya mereka yang memiliki kekuatan (power) untuk mendefinisikan istilah terorism untuk mengabaikan perjuangan pihak lain.
Berkaitan dengan terorisme yang dilakukan oleh suatu negara, sebuah tindakan teror dapat dikecualikan dari definisi terorisme karena kekuatan dan definisi hukum dari negara tersebut. Akibatnya, untuk membedakan mana aktor negara dan non-negara, beberapa penulis menggunakan dua kosakata yang berbeda (misalnya kekuatan vs. kekerasan; teror vs. terorisme).
Pendapat Ganor lainnya tentang sulitnya menentukan definisi terorisme adalah bahwa teroris pasti melakukan tindakan kekerasan, tetapi perlawanan balik oleh lawannya mungkin lebih buruk daripada tindakan yang dilakukan oleh mereka yang disebut teroris.
Hingga kini belum ada definisi tetap yang universal untuk istilah terorisme. Setiap organisasi dan negara memiliki definisi masing-masing untuk kata ini, seperti Parlemen Uni Eropa, dan Organisasi Kerja Sama Islam (OKI). Sementara pemerintah Amerika Serikat mendefinisikan terorisme dengan merujuk pada beberapa lembaga di dalam negeri, seperti Departemen Luar Negeri, FBI (Biro Investigasi Federal), dan DOD (Departemen Pertahanan).
Pustaka: Alex Schmid (2004), Richard Jackson (2007)
Laporan: Redaksi