Peneliti kembangkan pemetaan berpresisi dengan pendekatan AI untuk pengobatan kanker paru-paru
Kanker paru-paru nonsel kecil (non-small cell lung cancer/NSCLC), jenis kanker paru-paru yang paling umum, telah dipetakan secara sel demi sel menggunakan teknologi biologi spasial dan kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI), yang menghilangkan unsur perkiraan dalam pemberian terapi obat.
Sydney, Australia (Xinhua/Indonesia Window) – Kanker paru-paru nonsel kecil (non-small cell lung cancer/NSCLC), jenis kanker paru-paru yang paling umum, telah dipetakan secara sel demi sel menggunakan teknologi biologi spasial dan kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI), yang menghilangkan unsur perkiraan dalam pemberian terapi obat. Demikian menurut penelitian yang melibatkan tim ilmuwan Australia.
Orang-orang yang menderita jenis kanker paru-paru paling umum ini dapat menerima pengobatan yang lebih efektif dan disesuaikan secara individual setelah tim peneliti dari University of Queensland (UQ) di Australia, yang bekerja sama dengan peneliti dari Yale University di Amerika Serikat (AS), mengembangkan metode untuk memprediksi bagaimana sel kanker akan merespons terapi-terapi yang berbeda, ungkap pernyataan UQ yang dirilis pada Senin (13/10).
Pendekatan pemetaan berpresisi yang sama juga dapat digunakan untuk membantu menentukan perawatan bagi jenis kanker lainnya, seperti melanoma, kanker kepala dan leher, serta kanker kandung kemih, papar pernyataan itu.
Para peneliti mempelajari tumor-tumor pada 234 pasien penderita NSCLC yang terbagi dalam tiga kelompok (kohor) penelitian di Australia, AS, dan Eropa.
Pendekatan ini dapat “mengidentifikasi area-area di dalam tumor yang responsif maupun yang resisten terhadap terapi, sehingga akan menjadi terobosan besar dalam pengobatan kanker paru-paru,” ungkap Arutha Kulasinghe, seorang lektor kepala di Frazer Institute UQ.
“Alih-alih menggunakan pendekatan coba-coba, para onkolog kini dapat mengetahui pengobatan mana yang berpotensi paling efektif untuk diterapkan dengan alat kedokteran berpresisi yang baru,” ujar Kulasinghe, penulis koresponden dalam penelitian yang telah diterbitkan dalam jurnal Nature Genetics tersebut.
David Rimm, seorang profesor patologi Anthony N. Brady dari Yale University yang juga salah satu penulis utama dalam penelitian itu, menyebut studi ini menjadi “peta jalan bagi pengembangan tes diagnostik baru yang dapat mengoptimalkan pilihan pengobatan kanker paru-paru.”
Sebagai penyebab utama kematian akibat kanker di dunia, kanker paru-paru merenggut sekitar 1,8 juta jiwa setiap tahunnya secara global, dengan penderita NSCLC tercatat mencapai 85 persen dari keseluruhan kasus. Namun, imunoterapi yang mahal hanya efektif pada 20 hingga 30 persen pasien, papar studi tersebut.
“Terapi-terapi tersebut juga memiliki berbagai risiko yang signifikan bagi pasien yang menjalaninya, termasuk toksisitas parah yang berkaitan dengan imun dan dapat berakibat fatal,” kata Kulasinghe, seraya menambahkan bahwa kendala tersebut menyoroti sangat perlunya klasifikasi pasien berdasarkan tingkat kemungkinan mereka untuk memperoleh manfaat dari pengobatan.
Dengan mengintegrasikan data geografi molekuler kanker dan teknik pembelajaran mesin (machine learning), proses pengambilan keputusan soal pengobatan dapat ditingkatkan, sehingga membuahkan hasil pengobatan yang lebih baik bagi pasien kanker paru-paru, tutur Kulasinghe.
Laporan: Redaksi

.jpg)








