Intervensi militer Amerika Serikat di berbagai belahan dunia antara tahun 1776 hingga 2019, tercatat mencapai 400 kali, dengan 34 persen di antaranya dilakukan di Amerika Latin dan Karibia, 23 persen di Asia Timur dan Pasifik, 14 persen di Timur Tengah dan Afrika Utara, serta 13 persen di Eropa dan Asia Tengah.
Beijing, China (Xinhua) – Sebuah laporan baru dari wadah pemikir (think tank) Kantor Berita Xinhua yang dirilis pada Selasa (5/9) mengungkap cara Amerika Serikat (AS) menggunakan hegemoni militer untuk melanggar prinsip kedaulatan.
Dalam laporan berjudul ‘Asal-Usul, Fakta, dan Bahaya Hegemoni Militer AS’ (Origins, Facts and Perils of U.S. Military Hegemony), Xinhua Institute menguraikan pembentukan hegemoni militer AS, merangkum cara-cara yang diadopsi Washington untuk mempertahankan hegemoni tersebut, dan menggali bahayanya dengan menyajikan fakta dan data.
“Sejak Deklarasi Kemerdekaan pada 1776, intervensi militer AS di luar negeri melalui invasi langsung menggunakan kekuatan telah menyebar ke seluruh dunia,” ungkap laporan tersebut.
Menurut laporan Tufts University, AS melakukan hampir 400 intervensi militer di berbagai belahan dunia antara tahun 1776 hingga 2019, 34 persen di antaranya dilakukan di Amerika Latin dan Karibia, 23 persen di Asia Timur dan Pasifik, 14 persen di Timur Tengah dan Afrika Utara, serta 13 persen di Eropa dan Asia Tengah.
Saat ini, intervensi militer Amerika Serikat di Timur Tengah dan Afrika Utara serta sub-Sahara Afrika sedang meningkat, ungkap laporan Tufts University.
Selain melancarkan invasi militer langsung, AS juga telah menumbangkan pemerintahan yang sah, melakukan yurisdiksi ekstrateritorial, dan melanggar wilayah udara serta perairan teritorial negara lain, menurut laporan Xinhua Institute.
Dari 1947 hingga 1989, AS melakukan 64 operasi subversi rahasia dan enam operasi terbuka di negara lain, terlepas dari apakah mereka musuh atau sekutu, atau sistem politik apa yang mereka anut, urai laporan Xinhua Institute, mengutip buku ‘Covert Regime Change: America’s Secret Cold War’, yang ditulis oleh ilmuwan politik dari Boston College, Lindsey O’Rourke.
Setelah berakhirnya Perang Dingin, AS melakukan operasi subversif di beberapa negara, termasuk Haiti, Afganistan, Irak, Libya, Suriah, dan Venezuela, sebut laporan itu.
“Sudah menjadi hal yang lumrah bagi personel militer AS untuk melanggar hukum setempat di negara tempat mereka ditugaskan. Namun, pemerintah AS berupaya menghindarkan personel militer AS untuk tunduk pada yurisdiksi pemerintah setempat, yang berujung pada pelanggaran serius terhadap kedaulatan yudisial negara-negara tempat mereka ditugaskan,” ungkap laporan itu.
Laporan tersebut menyebutkan bahwa sebuah media Korea Selatan melaporkan pada 2017 bahwa tingkat nonpenuntutan atas kejahatan yang dilakukan oleh personel militer AS yang ditugaskan di negara tersebut mencapai 70,7 persen dan angka untuk kejahatan dengan kekerasan, termasuk pembunuhan, pemerkosaan, dan perampokan, bahkan lebih tinggi lagi, yaitu 81,3 persen.
“Demi mempertahankan kebebasannya melakukan pengerahan militer di seluruh dunia, AS mulai menerapkan ‘kebebasan pelayaran’ pada 1979 untuk mengancam dan merongrong kedaulatan perairan teritorial negara lain,” ungkap laporan itu.
Laporan: Redaksi