Banner

Hamas tuntut perang diakhiri permanen

Warga Palestina terlihat di antara rumah-rumah yang hancur di Beit Hanoun, di Jalur Gaza utara, pada 19 Februari 2025. (Xinhua/Rizek Abdeljawad)

Hamas menolak penempatan pasukan asing di Jalur Gaza, namun mengisyaratkan bahwa mereka akan menyambut baik pasukan Arab yang beroperasi dalam koordinasi dengan Otoritas Palestina.

 

Kairo, Mesir (Xinhua/Indonesia Window) – Hari kedua perundingan gencatan senjata tidak langsung Gaza antara Gerakan Perlawanan Islam Palestina (Hamas) dan Israel, yang dimediasi oleh Mesir dan Qatar, dimulai pada Selasa (7/10) di kota resor Laut Merah Mesir, Sharm el-Sheikh, seperti disampaikan sumber Mesir kepada Xinhua.

Sumber tersebut mengatakan kedua belah pihak berfokus pada isu-isu inti, termasuk pertukaran sandera-tawanan, masuknya bantuan kemanusiaan ke Gaza, dan pengalihan pemerintahan di Jalur Gaza.

Sumber itu menekankan Hamas masih mencari jaminan Amerika Serikat (AS) dan Israel untuk mengakhiri perang secara permanen, seraya menambahkan bahwa hal ini masih menjadi poin utama dalam negosiasi tersebut sejauh ini.

Perundingan itu, yang dimulai pada Senin (6/10), berpusat pada implementasi rencana perdamaian 20 poin yang diusulkan oleh Presiden AS Donald Trump, yang baru-baru ini Hamas menyatakan pada prinsipnya setuju dengan rencana tersebut.

Banner

Tahap pertama dari rencana itu mencakup gencatan senjata segera dan pembebasan semua sandera Israel, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal. Israel meyakini 48 sandera masih berada di Gaza, dengan 20 di antaranya masih hidup.

Hamas mengatakan mereka hanya akan mulai mengumpulkan sandera Israel setelah serangan militer Israel di Gaza berakhir, dengan alasan konflik yang sedang berlangsung menghalangi para operatornya mengumpulkan para sandera dari terowongan dan lokasi-lokasi lain di Jalur Gaza dengan aman, kata sumber itu.

Dalam tuntutan terpisah, kelompok tersebut menuntut pembebasan pemimpin terkemuka Palestina Marwan Barghouti sebagai bagian dari paket pertukaran tahanan.

Terkait masa depan pemerintahan Gaza, Hamas menolak penempatan pasukan asing di Jalur Gaza, namun mengisyaratkan bahwa mereka akan menyambut baik pasukan Arab yang beroperasi dalam koordinasi dengan Otoritas Palestina, menurut sumber itu.

Kelompok tersebut juga secara eksplisit menentang penugasan mantan perdana menteri Inggris Tony Blair untuk memimpin pemerintahan pascaperang di Gaza.

Konflik itu pecah pada 7 Oktober 2023, usai serangan Hamas yang belum pernah terjadi sebelumnya ke Israel selatan, yang menurut otoritas Israel menewaskan sekitar 1.200 orang dan mengakibatkan beberapa orang disandera. Sejak saat itu, perang telah menciptakan krisis kemanusiaan yang dahsyat dan kelaparan di daerah kantong yang terkepung tersebut, dengan otoritas kesehatan Gaza melaporkan lebih dari 67.000 warga Palestina tewas akibat operasi militer Israel sejauh ini.

Banner

Laporan: Redaksi

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Banner

Iklan