Gencatan senjata Lebanon-Israel telah tercapai, yang mulai berlaku pada 27 November 2024 dini hari waktu setempat, namun tak butuh waktu lama sebelum realitas kejam lain berikutnya muncul.
Beirut, Lebanon (Xinhua/Indonesia Window) – Setelah konflik berkecamuk selama lebih dari setahun, Laila Sheet (40) merasa senang saat mengetahui bahwa gencatan senjata Lebanon-Israel telah tercapai, yang mulai berlaku pada Rabu (27/11) dini hari waktu setempat. Kendati demikian, tak butuh waktu lama sebelum realitas kejam lain berikutnya muncul.
Rentetan tembakan senapan mesin dan peluru artileri Israel masih menghalangi ribuan pengungsi Lebanon untuk pulang ke rumah mereka. Saat ini, Kafr Kila, desa asal Sheet, menjadi tempat yang tampak di depan mata namun di luar jangkauannya.
“Kami tidak menyangka pasukan Israel masih bercokol di desa kami,” ujar Sheet, yang ditemani oleh keluarganya yang berjumlah empat orang, kepada Xinhua. “Kami lolos dari peluru Israel yang jatuh di dekat mobil kami dan kemudian kembali ke pusat penampungan kami,” imbuhnya.
Dalam platform media sosial X, Avichay Adraee, juru bicara Pasukan Pertahanan Israel (Israel Defense Forces/IDF), pada Jumat (29/11) mengunggah peta yang menyoroti sebuah area terlarang di dekat perbatasan Israel, yang merupakan lokasi sekitar 60 desa Lebanon. Lebih lanjut, dia memperingatkan bahwa siapa pun yang memasuki area tersebut akan terancam bahaya.
“IDF tidak bermaksud menargetkan Anda. Namun pada tahap ini, bergerak ke selatan menuju garis (desa-desa itu berada) dan pulang ke rumah Anda dilarang hingga pengumuman lebih lanjut,” urai Adraee.
Sementara itu, pasukan Lebanon telah memasang pagar pembatas permanen di persimpangan dan jalur masuk desa-desa perbatasan tersebut guna mencegah warga masuk serta demi melindungi mereka, demikian menurut sejumlah sumber militer Lebanon.
Ketegangan yang kian meruncing di sepanjang perbatasan itu rupanya berbenturan dengan keinginan besar pengungsi Lebanon untuk pulang ke rumah mereka. Di jalur masuk bagian barat menuju Desa Houla, sebuah konvoi mobil yang mengangkut para pengungsi yang ingin pulang ke rumah mereka terpaksa berbalik arah usai tank Israel menembakkan beberapa peluru, menyebabkan tiga warga sipil luka ringan.
“Sejumlah pelanggaran kesepakatan gencatan senjata oleh Israel yang dilaporkan media lokal maupun internasional mengindikasikan bahwa perjanjian itu bukanlah jaminan, dan kami khawatir fase pengungsian yang kedua ini akan berlangsung lama,” keluh Amer Younis, salah satu pengungsi yang ingin kembali ke rumahnya dan ikut serta dalam konvoi tersebut.
Pada Jumat, Komite Darurat Menteri (Ministerial Emergency Committee) Lebanon mengumumkan bahwa mayoritas pengungsi yang tinggal di tempat-tempat penampungan telah bertolak menuju rumah dan desa asal mereka menyusul kesepakatan gencatan senjata.
Data resmi menunjukkan bahwa 296 pusat penampungan telah ditutup dan jumlah pengungsi menurun 76,97 persen, dengan 33.758 orang masih tinggal di 713 pusat penampungan lainnya.
Kesepakatan gencatan senjata itu, yang masih bertahan sejak Rabu dini hari, mengakhiri konflik antara Hizbullah dan Israel yang telah berlangsung lebih dari setahun. Namun, putaran konfrontasi terbaru ini, yang merupakan salah satu yang terparah sejak 2006, meninggalkan kehancuran yang meluas.
Menurut sumber media di Kegubernuran Nabatieh di Lebanon selatan, sekitar 100.000 pengungsi dari desa-desa perbatasan masih belum dapat pulang akibat kerusakan yang parah.
Kepala Dewan Lebanon Selatan Hashem Haidar menyampaikan kepada Xinhua bahwa komite-komite evaluasi telah mulai menyurvei kerusakan di kota dan desa yang lokasinya lebih jauh dari perbatasan dan akan memperluas area survei ke perbatasan usai pasukan Israel menarik diri.
Hassib Abdul Hamid, wakil wali kota Kfar Hamam di Lebanon selatan, mengatakan bahwa hambatan paling signifikan bagi warga Lebanon yang ingin pulang ke rumah mereka adalah kehancuran meluas pada desa-desa serta berbagai infrastruktur dan fasilitas penting seperti jaringan air dan listrik, jalanan, sekolah, rumah sakit, dan properti hunian.
Selain itu, lahan pertanian, yang merupakan sumber pendapatan utama bagi warga setempat, telah berubah menjadi area yang penuh ranjau dan bom yang belum meledak, sehingga menimbulkan bahaya besar bagi warga sipil.
Pembersihan puing-puing bangunan dan perbaikan infrastruktur diperkirakan akan memakan waktu beberapa bulan, disusul oleh rekonstruksi rumah, yang akan bergantung pada ketersediaan bantuan dan kompensasi di masa mendatang, tutur Hamid, sembari menambahkan bahwa pihak-pihak yang menanggung kompensasi dan biaya setiap unit rumah masih belum diketahui.
Laporan: Redaksi