Banner

Eropa hadapi krisis HIV ‘tersembunyi’

Foto yang diabadikan pada 8 Desember 2022 ini menunjukkan tampilan eksterior kantor pusat Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Eropa (European Centre for Disease Prevention and Control/ECDC) di Stockholm, Swedia. (Xinhua/Wei Xuechao)

Eropa menghadapi krisis HIV “tersembunyi” dengan 105.922 diagnosis HIV tercatat di Kawasan Eropa WHO pada 2024.

 

Oslo, Norwegia (Xinhua/Indonesia Window) – Eropa sedang menghadapi krisis HIV “tersembunyi” dengan lebih dari separuh orang yang didiagnosis HIV di kawasan itu terlambat diidentifikasi untuk mendapatkan pengobatan optimal, sehingga membahayakan target untuk mengakhiri AIDS sebagai ancaman kesehatan masyarakat pada 2030. Peringatan tersebut disampaikan Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Eropa (European Centre for Disease Prevention and Control/ECDC) dan Kantor Regional Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) untuk Eropa dalam laporan yang dirilis pada Kamis (27/11).

Menurut laporan pengawasan HIV/AIDS gabungan berdasarkan data 2024, 105.922 diagnosis HIV tercatat di Kawasan Eropa WHO. Meski total diagnosis yang dilaporkan menunjukkan penurunan tipis dibandingkan dengan 2023, kedua lembaga tersebut menyatakan masih ada kesenjangan besar dalam pengujian dan diagnosis HIV.

Secara keseluruhan, 54 persen diagnosis HIV di kawasan tersebut pada 2024 diklasifikasikan sebagai terlambat, yang berarti orang-orang tersebut didiagnosis pada tahap di mana sistem kekebalan tubuh mereka sudah mengalami kerusakan yang signifikan. Diagnosis yang terlambat mengurangi manfaat pengobatan antiretroviral yang menyelamatkan nyawa, meningkatkan risiko terkena AIDS dan kematian, serta memperbesar kemungkinan penularan lebih lanjut.

Di 30 negara anggota Uni Eropa (UE) dan Kawasan Ekonomi Eropa (European Economic Area/EEA), dilaporkan 24.164 diagnosis HIV pada 2024, yang setara dengan 5,3 kasus per 100.000 orang. Dari jumlah tersebut, 48 persen di antaranya merupakan diagnosis yang terlambat.

Banner

Laporan itu mendefinisikan diagnosis yang terlambat sebagai kondisi di mana jumlah sel CD4 berada di bawah 350 sel per milimeter kubik pada saat diagnosis, mengindikasikan sistem kekebalan tubuh telah melemah secara signifikan.

“Di UE/EEA, hampir separuh dari seluruh diagnosis dilakukan terlambat. Kita harus segera melakukan inovasi dalam strategi pengujian kita, mengadopsi pengujian berbasis komunitas dan pengujian mandiri, serta memastikan akses cepat ke layanan perawatan. Kita hanya dapat mengakhiri AIDS jika orang-orang mengetahui status mereka,” papar Pamela Rendi-Wagner, direktur ECDC.

Direktur Regional WHO untuk Eropa Hans Henri P. Kluge menekankan bahwa stigma dan diskriminasi masih menjadi hambatan utama yang menghalangi masyarakat untuk melakukan pengujian dan perawatan.

“Kita belum cukup berupaya untuk menghilangkan hambatan mematikan berupa stigma dan diskriminasi yang menghalangi orang-orang untuk melakukan pengujian sederhana. Diagnosis dini bukanlah sebuah privilese, melainkan pintu gerbang menuju kehidupan yang panjang dan sehat, serta kunci untuk menghentikan penyebaran HIV,” ujarnya.

Kedua lembaga tersebut menyerukan untuk mengambil langkah-langkah mendesak guna menjadikan pengujian HIV sebagai “rutinitas, menormalisasinya, dan meningkatkan skalanya” di seluruh Eropa.

Laporan: Redaksi

Banner

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Banner

Iklan