Jakarta (Indonesia Window) – Arab Saudi secara dramatis mengurangi jumlah narapidana yang dihukum mati sejak tahun lalu, menyusul perubahan yang menghentikan eksekusi untuk kejahatan terkait narkoba tanpa kekerasan, menurut penghitungan pemerintah dan pengamat independen, menurut laporan AP News.
Komisi Hak Asasi Manusia (HAM) Pemerintah Saudi mengatakan pada Senin (18/1) bahwa mereka mendokumentasikan 27 eksekusi pada tahun 2020, atau menurun 85 persen dari 184 hukuman mati yang dicatat oleh organisasi Amnesty International dan Human Rights Watch (pengawas HAM) pada tahun sebelumnya.
“Penurunan tajam itu sebagian disebabkan oleh moratorium hukuman mati untuk pelanggaran terkait narkoba,” kata Komisi HAM Saudi.
Kepada The Associated Press, komisi tersebut mengatakan undang-undang baru yang memerintahkan penghentian eksekusi tersebut mulai berlaku sekitar tahun lalu.
Arahan baru untuk hakim tampaknya tidak dipublikasikan kepada masyarakat dan tidak segera jelas apakah undang-undang tersebut diubah oleh dekrit kerajaan, seperti yang biasanya terjadi.
AP sebelumnya melaporkan bahwa Arab Saudi tahun lalu juga memerintahkan diakhirinya hukuman mati untuk kejahatan yang dilakukan oleh anak di bawah umur dan memerintahkan hakim untuk mengakhiri praktik cambuk publik yang kontroversial, menggantinya dengan hukuman penjara, denda atau layanan masyarakat.
Kekuatan di balik perubahan tersebut adalah Putera Mahkota Mohammad bin Salman, yang mendapat dukungan dari ayahnya, Raja Salman.
Dalam upaya untuk memodernisasi negara, menarik investasi asing, dan mengubah ekonomi, putera mahkota telah mempelopori berbagai reformasi yang membatasi kekuatan Wahabi ultrakonservatif, yang menganut interpretasi ketat Islam yang masih dipraktikkan oleh banyak warga Saudi.
Selama bertahun-tahun, tingginya angka eksekusi di kerajaan sebagian besar disebabkan oleh jumlah orang yang dieksekusi karena pelanggaran yang tidak mematikan, yang oleh hakim memiliki kebijaksanaan luas untuk diputuskan, terutama untuk kejahatan terkait narkoba.
Amnesty International menempatkan Arab Saudi di posisi ketiga di dunia untuk jumlah eksekusi tertinggi pada 2019, setelah China di mana jumlah eksekusi diyakini mencapai ribuan, dan Iran.
Di antara mereka yang dihukum mati tahun itu oleh Arab Saudi adalah 32 minoritas Syiah yang dihukum atas tuduhan terorisme terkait partisipasi mereka dalam protes anti-pemerintah dan bentrokan dengan polisi.
Sementara beberapa kejahatan, seperti pembunuhan berencana, dapat membawa hukuman tetap di bawah penafsiran hukum Islam Saudi (syariah), sedangkan pelanggaran terkait narkoba dianggap takzir, yang berarti kejahatan maupun hukuman tidak didefinisikan dalam dua sumber hokum Islam, yakni Al-Quran dan hadis.
Keputusan diskresioner (kebebasan mengambil keputusan sendiri dalam setiap situasi yang dihadapi) untuk kejahatan takzir menyebabkan putusan sewenang-wenang dengan hasil yang kontroversial.
Pemerintah kerajaan telah lama dikritik oleh kelompok hak asasi independen karena menerapkan hukuman mati untuk kejahatan tanpa kekerasan terkait perdagangan narkoba.
Banyak dari mereka yang dieksekusi karena kejahatan semacam itu seringkali adalah orang Yaman yang miskin, atau penyelundup narkoba tingkat rendah keturunan Asia Selatan. Apalagi, mereka yang berasal dari Asia Selatan memiliki sedikit atau tidak sama sekali pengetahuan bahasa Arab dan tidak dapat memahami atau membaca tuduhan terhadap mereka di pengadilan.
Arab Saudi melakukan eksekusi terutama dengan pemenggalan kepala dan terkadang dilakukan di depan umum.
Kerajaan berpendapat bahwa eksekusi publik dan para pengedar narkoba berfungsi sebagai pencegah untuk memerangi kejahatan.
“Moratorium pelanggaran terkait narkoba berarti kerajaan memberikan kesempatan kedua kepada lebih banyak penjahat tanpa kekerasan,” kata Presiden Komisi Hak Asasi Manusia Arab Saudi, Awwad Alawwad.
Dalam pernyataan yang diperoleh AP, dia mengatakan perubahan itu merupakan tanda bahwa sistem peradilan Saudi lebih fokus pada rehabilitasi dan pencegahan dari pada hanya pada hukuman.
Menurut Human Rights Watch, hanya ada lima eksekusi mati untuk kejahatan terkait narkoba tahun lalu di Arab Saudi, semuanya pada Januari 2020.
Sementara itu, Deputi Direktur Human Rights Watch Timur Tengah, Adam Coogle, mengatakan penurunan eksekusi adalah pertanda positif, tetapi pihak berwenang Saudi juga harus menangani “sistem peradilan pidana negara yang sangat tidak adil dan bias yang menjatuhkan hukuman-hukuman ini.”
“Saat pihak berwenang mengumumkan reformasi, jaksa penuntut Saudi masih mencari hukuman mati bagi tahanan dengan profil tinggi untuk tidak lebih dari gagasan damai dan afiliasi politik mereka,” katanya.
“Arab Saudi harus segera mengakhiri semua eksekusi dan hukuman mati untuk kejahatan tanpa kekerasan,” ujar Coogle.
Laporan: Redaksi