Jakarta (Indonesia Window) – Pembangunan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) di tanah air menghadapi tantangan minimnya jumlah peneliti dan perekayasa.
Pada diskusi publik berjudul Diaspora Peneliti Indonesia: Kiprah dan Tantangan pada Senin (9/12), Kepala LIPI, Laksana Tri Handoko menekankan bahwa bibit unggul itu dicari, bukan ditunggu.
Diskusi publik tersebut menghadirkan empat diaspora peneliti yang kini telah bekerja di LIPI.
Berikut ini adalah pandangan mereka tentang ekosistem riset yang harus dibangun di Indonesia dalam suasana dan semangat berinovasi.
Pandangan
Intan Suci Nurhati adalah peneliti arsip perubahan iklim. Setelah bekerja 10 tahun di Amerika Serikat dan Singapura, Intan menjadi peneliti di Pusat Penelitian Oseanografi LIPI pada 2015.
Bagi Intan, ekosistem riset yang baik untuk diaspora adalah dengan tersedianya infrastruktur dan publikasi yang berkualitas.
“Harus ada laboratorium terpadu, dimana masyarakat juga dapat melihat apa yang dipunya LIPI. Publikasi riset juga sebaiknya dilihat dari kualitas, bukan kuantitas,” ucap Intan yang beberapa waktu lalu meraih 74 Ikon Apresiasi Prestasi Pancasila untuk bidang Sains dan Inovasi dari Badan Pembinaan Ideologi Pancasila.
Semetara itu, Osi Arutanti bergabung sebagai peneliti Pusat Penelitian Kimia LIPI pada 2018, setelah lima tahun menetap di Jepang.
Menurut Osi, ekosistem riset yang ideal untuk diaspora adalah lingkungan yang dapat memberikan dukungan dalam berbagai sisi, serta menyediakan kebebasan dan keleluasaan dalam mengembangkan diri.
“Kadang kita berbenturan dengan birokrasi. Hal ini sebaiknya dapat dipermudah. Saat ini saya melihat LIPI sudah mulai berubah ke arah tersebut,” tutur Osi yang baru saja menerima penghargaan L’Oreal-Unesco for Woman in Science National Fellowship 2019 untuk riset alternatif fotokatalis (katalis yang digunakan untuk mempercepat reaksi kimia dengan bantuan sinar atau cahaya) yang terjangkau, bisa direalisasi, efisien, dan dapat diaktivasi dengan tenaga surya.
Di bidang ilmu hayati, ada Ayu Savitri Nurinsiyah yang menjadi peneliti Pusat Penelitian Biologi LIPI pada 2019.
Ayu sudah menyumbang kekayaan keragaman hayati Indonesia dengan menemukan 16 spesies baru keong darat di Jawa.
Ia juga menerima penghargaan L’Oreal-Unesco for Woman in Science National Fellowship 2019 untuk riset spesies keong darat Jawa yang memiliki antimikroba dari protein lendirnya.
Sebelumnya, selama sembilan tahun, Ayu menjadi diaspora di Belanda, Perancis, Inggris, dan Jerman.
Ayu berharap aksesbilitas untuk berbagai informasi terkait riset dapat lebih mudah seperti kondisi yang dia alami saat menjadi peneliti di Eropa di mana fasilitas tersebut tersedia bagi siapa saja yang membutuhkan.
“Penelitian saya melibatkan koleksi spesimen di museum. Saya harap akses untuk meminjam spesimen ini dapat dipermudah,” ujar Ayu.
Adapun Mohammad Hamzah Fauzi yang kini merupakan peneliti Pusat Penelitian Fisika LIPI direkrut melalui jalur diaspora pada 2019.
Sejak 2014, Hamzah bekerja sebagai asisten profesor di Universitas Tohoku, Jepang.
Menurut Hamzah, sinergi merupakan hal penting dalam membangun ekosistem riset yang baik.
“Sinergi itu penting. Peneliti dalam satu bidang yang berhubungan sebaiknya dikumpulkan dan tidak lagi tercecer. Dengan demikian kita dapat lebih mudah dalam melakukan kolaborasi,” ujar Hamzah yang menekuni riset fisika material.
Laporan: Redaksi